Words have weight, something once said cannot be unsaid. – Philippa Gregory
"Bapak sudah pulang, Bu?"
"Sudah, Bang, kenapa?"
Tanpa menjawab, bocah kecil berusia enam tahun itu bergegas mengambil buku gambar dari atas meja, lalu berlari ke ruang kerja ayahnya. Wajahnya semringah sekali.
Pintu itu tidak terkunci. Ia buru-buru menguaknya. Nampak sang ayah tenggelam di balik meja dengan setumpuk buku dan kertas yang tidak ia mengerti. Kacamata ayahnya sedikit melorot.
"Pak, lihat deh, gambar—"
"Harus berapa kali Bapak bilang, Bapak nggak suka diganggu saat bekerja! SANA KELUAR!"
Seto membeku di tempat. Mulutnya menganga, mukanya seketika pias. Sejurus kemudian, bahunya merosot dan ia langsung menunduk memandangi ujung jari kakinya. Tangannya tanpa sadar meremas tepian buku gambar. Sebersit embun muncul di kedua bola matanya. Bukannya keluar dari tempat itu, lututnya malah menggigil. Jantungnya berdetak lebih kencang.
Surut sudah niatnya menunjukkan gambar pesawat yang sejak tadi siang dikerjakannya dengan susah payah. Saking menggelegarnya suara sang ayah, kakinya sampai tak kuasa melangkah.
Tak lama kemudian, ibunya masuk dengan tergopoh-gopoh. "Abang ... main sama Ibu aja, yuk."
"Apa saja kerjaanmu, Bu? Mengatur anak satu aja nggak becus?!"
"Maaf, Pak. Ibu juga nggak menyangka Abang masuk ke sini."
Ayahnya melotot. "Bisa nggak, kalau ditegur itu nggak usah menjawab segala? Ibu mau jadi isteri durhaka?"
Seto bergegas menyeret tangan ibunya. Ia tidak mau cinta pertamanya itu kedapatan menyembunyikan linangan air mata. "Ayo Bu, kita main di luar saja."
***
Seto terbangun pukul setengah enam pagi. Perutnya keroncongan. Semalam ia langsung tidur dengan posisi meringkuk seperti bayi, memeluk gulingnya erat-erat, dan melupakan makan malam. Nyalinya langsung ciut setelah dibentak oleh Luna, bahkan sempat bermimpi buruk tentang ayahnya segala. Bukan berarti kehidupannya sebelum ini lebih baik. Dalam artian, sewaktu menjadi preman dulu, bukan hanya bentakan, pukulan dan kekerasan sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Biasanya Luna cukup sering memarahinya. Apalagi di awal-awal pernikahan mereka. Namun, kenapa kali ini rasanya berbeda? Ada setitik kesedihan menusuk sudut hatinya.
Ia juga merasa bersalah telah mengganggu konsentrasi Luna. Apa pentingnya membicarakan anak? Toh, hubungan mereka belum bergerak ke mana-mana. Seto terlalu gengsi untuk beraksi karena pernah dengan sombongnya menolak Luna.
Dulu, ia bergidik mengingat kemungkinan bernafsu pada temannya sendiri. Kini, kalau dipikir-pikir itu adalah hal yang normal dan wajar. Ia adalah seorang pria dan Luna seorang wanita. Nyatanya, tanpa sadar Seto termakan omongannya. Luna menyeretnya sedikit demi sedikit ke dalam pusaran rasa nyaman dan bahagia.
Apakah ia benar-benar menginginkan anak bersama Luna? Hah, baru memberi gelagat ke arah sana saja, langkahnya sudah dijegal sedemikian rupa!
Selesai mandi, secangkir kopi panas telah terhidang di atas meja makan. Aromanya wangi sekali. Semakin hari Luna semakin ahli. Seto bahkan kehilangan minat meracik kopinya sendiri.
Ia melirik takut-takut pada Luna yang sedang sibuk dengan penggorengan di tangan. Apakah ia akan didiamkan seperti tempo hari?
Ketika perempuan itu berbalik, Seto sama sekali tidak mengharapkan apa-apa. Tapi kemudian, melihat senyuman manis tersungging di bibir Luna, tiba-tiba saja segala rasa tidak enak itu lenyap tak berbekas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...