"Mau ke mana, Na?" tegur Seto saat turun dari motor. Tampak olehnya Luna tergesa-gesa keluar dari rumah.
"Rumah sakit," jawab Luna singkat.
"Siapa yang sakit?"
"Anaknya Mbak Ambar."
"Siapa Ambar?"
"Teman. Udah, ah, nggak usah banyak tanya!" Luna bergegas naik ke motornya.
"Gue ikut!" cegat Seto secepat mungkin. Sebuah gagasan konyol terlintas di benaknya. "Tapi gue mandi dulu."
"Ck! Gue buru-buru, nih!" decak Luna keberatan. Ia ingin menolak, tapi tahu Seto tak kan mau mendengar alasannya.
"Sebentar doang, nggak kayak elo, mandi aja satu jam."
"Kapan gue mandi satu jam?" bantah Luna.
"Mana gue tahu? Biasanya perempuan mandinya lama." Seto mengangkat kedua bahunya, tapi ujung bibirnya menyeringai jahil. "Kecuali kita mandi bareng, baru deh, gue bisa ngitung. Tapi kayaknya bakalan lebih dari satu jam."
Ia buru-buru masuk ke rumah, sebelum gagasan 'mandi bareng' itu membuatnya membayangkan yang bukan-bukan, atau sebelum Luna mengamuk saat menyadari maksud mesumnya. Namun tampaknya, Luna agak lemot bila diberi kode-kode seperti itu. Ia pun terlalu gengsi untuk menyerang secara frontal.
Benar perkiraan Seto, Luna hanya merengut kesal. Langkahnya gontai kembali masuk rumah. Seto menepuk keningnya, lalu bergegas ke kamar mandi.
Ck! Susah punya isteri nggak peka!
Di kamar mandi, Seto menyabuni seluruh badannya. Tiba-tiba, lirikan matanya mampir sejenak ke bawah pusar, lalu mukanya meringis samar. Sepertinya sang adik tersayang harus berpuasa lebih lama.
***
Banyak orang bijak berkata, orang-orang baik akan ditemukan di tempat yang baik pula, begitupun sebaliknya. Bila kau berteman dengan tukang parfum, kau akan kecipratan wanginya.
Namun, proses pertemuannya dengan Ambar merupakan sebuah kontradiksi. Ambar adalah sosok malaikat yang tersesat di tempat durjana. Luna bertemu dengannya di sebuah wilayah prostitusi, saat perempuan itu tengah menjajakan tubuhnya di keremangan malam dengan harga yang sangat murah. Luna hanya membayar lima puluh ribu rupiah saat bertransaksi dengan Ambar dan perempuan itu memberinya waktu satu jam.
"Ayo!" Panggilan Seto membuyarkan lamunan Luna. Ia melirik jam tangannya. Mudah-mudahan masih ada sisa jam besuk malam ini.
"Kita ke ATM sebentar ya, To."
"Oke," jawab Seto tanpa banyak bertanya.
Mereka mampir ke ATM di sebuah minimarket. Luna juga membeli roti dan buah-buahan untuk Ambar.
Begitu mereka kembali ke jalan utama, Seto berkata dengan setengah berteriak, "Peluk pinggang gue dong!"
"Apa?" balas Luna berteriak. Hembusan angin menelan suara Seto hingga tidak terdengar dengan jelas. Belum lagi Luna memakai helm yang agak sempit.
"Peluk pinggang gue!"
"Kenapa harus dipeluk segala? Biasanya juga begini, kok." Luna bersikeras memegang besi pinggiran jok kala motor itu melaju sangat kencang. Terkadang Seto menjelma jadi pembalap jalanan. Andai Seto tinggal di Amerika sana, mungkin isi tabungannya sudah tandas untuk membayar denda.
"Sekarang 'kan udah beda, gimana, sih?" sahut Seto lagi.
"Beda apanya?"
"Kita udah nikah, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...