Anw, sedikit warning buat pembaca (cerita ini udah di tag mature content). Mungkin nanti, kalian akan menemukan beberapa part berisikan pemikiran tokoh-tokoh yang bertentangan dengan standar sosial kebanyakan masyarakat, atau kala mereka membicarakan hal-hal yang kalian anggap tabu untuk diangkat, atau bila bertentangan dengan standar moral atau kemanusiaan. Bila nanti kalian merasa tidak nyaman, atau suara-suara tersebut mengganggu dan memberikan trigger buruk bagi kalian, please, feel free to remove this story from your library.
But in the end, cerita ini hanyalah fiktif belaka. Thank you in advance 🙏
***
"Bang, saya boleh pinjam duit?" Cecep mengekori langkah Seto dari belakang.
"Buat apa?"
"Buat nyogok isteri saya, Bang. Katanya perempuan suka dikasih bunga, biar romantis gitu, kayak di film-film."
Seto mendelik. "Utang lo kemarin aja belum dibayar!"
"Potong gaji bulan depan aja, Bang."
"Ck! Berapa?"
"Cepek aja, Bang."
Seto merogoh saku celananya. Dua detik kemudian, uang seratus ribu berpindah tangan dari dompetnya.
Bagi kebanyakan kenalannya, Seto tak ubahnya seperti koperasi berjalan. Empatinya sangat besar karena pernah hidup serba kekurangan. Itulah sebabnya ia tak punya banyak tabungan.
Untung saja usaha bengkelnya tetap lancar. Ia percaya akan prinsip sumur, walaupun kau terus-terusan menimba airnya, tak lama kemudian sumur tersebut akan terisi kembali. Namun, ia acap kali abai bahwa banyak dari mereka hanya memanfaatkan kebaikannya.
Baru dua menit berkutat dengan sebuah motor mogok, terdengar seseorang menyapanya dengan nada bertanya. "Seto?"
Seto seketika menoleh. Matanya setengah menyipit pada seorang pria yang tengah tersenyum lebar itu. Ia berdiri, lalu berjalan mendekat. "Ya, ada yang bisa dibantu, Mas?"
"Elo Seto, kan?"
Seto mengangguk. "Siapa, ya?"
"Masa lupa sama gue?"
Seto mengernyitkan keningnya beberapa detik, kemudian matanya membola kala kenangan belasan tahun yang lalu mengisi ruang benaknya. "Gilang?"
Pria itu tertawa sambil menjabat tangannya erat. "Apa kabar, To?"
"Ya, beginilah. Lo makin gagah aja. Gue sampai pangling." Seto mengajak mantan teman sekelasnya itu duduk di sebuah kursi plastik. Ia beranjak mengambil teh botol dalam lemari pendingin, lalu menyodorkannya pada Gilang. "Diminum dulu, Lang."
"Makasih. Lo udah lama buka bengkel di sini?"
"Hmm, nggak juga. Baru beberapa tahun ini." Seto meneguk isi teh botolnya. "Lo sibuk apa sekarang?"
"Gue punya usaha konstruksi."
"Wah, mantap!"
Beberapa menit berlalu dalam basa-basi dan mengenang masa lalu. Seto memperkirakan, tidak mungkin Gilang jauh-jauh mencarinya hanya untuk bertanya kabar atau mengajak reunian singkat. "Lo kebetulan lewat atau gimana?"
"Nggak juga." Gilang meneguk isi botolnya. "Gue dapat informasi dari Adit, bahwa lo buka bengkel di sini."
Seto mengangguk-angguk. Tak sulit mencari keberadaan seseorang belakangan ini. Apalagi di era digital di mana hampir semua orang mengakrabkan diri dengan media sosial. "Ada apa, Lang? Lo ada perlu sama gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...