30. Fall Apart

5.4K 1.1K 389
                                    

Luna bolak-balik mengecek ponselnya. Sudah satu minggu lamanya Seto tidak menelepon, bahkan mengiriminya pesan terlebih dahulu pun tidak. Biasanya—sejak ia ikut pelatihan—tak satu kali pun Seto absen menghubunginya, setidaknya untuk menanyakan apakah ia sudah makan. Terakhir kali Seto menelepon, hanya memintanya mengajukan cuti untuk menghadiri pertunangan Shaka di Semarang. Luna bahkan sudah menghubungi bagian sekretariat untuk mengurus izin cutinya.

Dalam satu minggu terakhir, Luna sering mengernyitkan dahi. Ia yang mengirimkan pesan terlebih dahulu. Itu pun dibalas dengan seirit-iritnya oleh Seto. Pertanyaan demi pertanyaan hanya dijawab dengan 'ya' atau 'tidak'. Aneh sekali!

Jujur saja, ia merindukan Seto. Ia rindu dengan ocehan Seto, rindu dengan curhatan tentang kesehariannya, rindu tentang cara Seto membicarakan hidupnya dengan gaya yang tak biasa, seolah santai dan tanpa beban, bukan seperti dirinya yang selalu mengumpat tentang masa lalu dan keluarganya.

Terlepas dari luka batin Seto yang ditinggal oleh keluarganya dan pernah hidup tanpa arah dan tujuan beberapa tahun lamanya sebelum kembali ke jalan yang benar, tanpa sadar, Luna iri dengan kehidupan Seto yang sempurna. Seto berasal dari keluarga yang harmonis, tumbuh dalam pelukan kasih sayang orang tuanya. Ia iri pada Seto yang disayangi oleh ibunya, Umi Diah yang murah hati. Ia iri dengan Seto yang dicukupi kebutuhannya oleh ayahnya yang bertanggung jawab terhadap keluarga.

"To, lo bisa jemput gue di bandara?" Luna mengulang pesan yang sejak semalam sudah dua kali ia kirimkan, tetapi Seto tak kunjung membalasnya.

Luna menghela napas panjang, kemudian mematikan ponselnya. Pramugari sudah memberikan peringatan. Ia menoleh ke kursi di seberangnya dan mendapati Rafli ikut mematikan ponselnya. Tanpa sengaja pria itu ikut menoleh, mereka bertatapan. Luna buru-buru memalingkan muka.

Tampaknya, Rafli sudah bisa menerima bahwa Luna sudah menikah. Selama masa diklat berlangsung, hubungan yang sempat canggung dan renggang itu berangsur normal. Lelaki itu berkata, mungkin sebaiknya mereka berteman saja, dan menjaga profesionalitas selama bekerja. Terikat dalam satu tim membuat Luna tak bisa berkata apa-apa selain mengangkat bahunya masa bodoh.

Setelah satu jam lebih mengudara, pesawat itu mendarat di bandara. Luna menunggu kedatangan Seto sambil sesekali celingukan ke kiri dan ke kanan. Di atas trolinya terdapat koper berisi pakaian serta dua buah dus berisi aneka camilan dan oleh-oleh khas Jawa Timur. Ia sengaja membeli banyak makanan mengingat kebiasaan Seto yang tak berhenti mengunyah sesuatu di dalam mulutnya.

"Seto nggak menjemput, Na?" tegur Rafli mendekati Luna dan ikut duduk di sampingnya.

"Belum, Pak."

"Kamu bisa ikut bersama saya. Saya akan mengantarmu pulang terlebih dahulu."

"Nggak usah, Pak. Mungkin sebentar lagi dia datang." Luna tidak meragukan kebaikan hati Rafli. Tetapi ia tidak ingin Seto memergokinya bersama Rafli, bisa-bisa Seto mengamuk lagi.

Rafli menghela napas panjang. "Ya sudah, saya duluan ya, Na."

"Silakan, Pak."

Rafli geleng-geleng kepala. Alih-alih belajar memanggil namanya setelah deklarasi pertemanan seminggu yang lalu, Luna tetap mempertahankan panggilan 'bapak' kepadanya. Apa susahnya, sih, memanggil Rafli saja?

Petang sudah beranjak senja. Satu persatu teman sekantornya dijemput oleh keluarga ataupun pasangan mereka. Seto tak kunjung datang. Teleponnya tak diangkat, pesannya tak dibalas.

Luna terpaksa memesan taksi online. Ada selarik kecewa berkelebat di hatinya.

Di perjalanan, ia sesekali melirik ponselnya. Tidak lama setelah itu, ia berdecak sebal, lalu mengganti nama Seto dari 'Lovely Monkey' menjadi 'Shitty Monkey'. Nama Seto dalam kontaknya selalu berubah-ubah, tergantung dari tingkah dan kelakuan ajaib Seto.  Terkadang Luna menamainya 'Monyet Liar', 'Monyet Sialan', 'Monyet Kelaparan', 'Monyet Kampret', 'Monyet Jorok', dan sebagainya.

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang