You can spend a lifetime trying to forget a few minutes of your childhood.
Luna menunggu kedatangan Farhan di bandara. Sejujurnya, ia tidak begitu mengenal Farhan. Mereka berpisah ketika Farhan baru berusia lima tahun, bertepatan saat Luna tamat SMA. Orang tuanya memutuskan pindah ke Banjarmasin dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Sementara Luna tetap di Jakarta melanjutkan hidupnya sebagai single fighter.
Sejak saat itu, tak sekalipun mereka bertemu. Luna menolak datang ke Banjarmasin dengan berbagai alasan. Begitupun keluarganya, tak lagi menginjakkan kaki di Jakarta. Alasannya sangat klasik. Apa lagi kalau bukan karena uang? Niat mengubah nasib di tanah Borneo berakhir berantakan, karena hanya ibunya yang berjuang sendirian.
Komunikasi terjalin lewat telepon atau pesan singkat. Setelah teknologi ponsel mendukung, mereka sesekali melakukan video call. Surat menyurat untuk keperluan administrasi dilakukan lewat jasa ekspedisi.
Tampak seorang lelaki berumur dua puluhan menyandang ransel berwarna hitam. Darah Luna berdesir. Ia mencocokkan wajah lelaki itu dengan foto Farhan di ponselnya, lalu ragu-ragu melambaikan tangannya.
"Fa-Farhan!" panggilnya. Saat lelaki itu masih mengedarkan pandangannya, Luna memanggil sekali lagi, "Farhan!"
Lelaki muda itu menoleh ke arah datangnya suara. Raut bingung seketika berganti lega. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. Ia bergegas menghampiri Luna. Beberapa meter sebelum sampai, ia memanggil riang, "Ayuk?"
Luna tidak tahu bagaimana harus bersikap. Canggung lebih tepatnya. Belum sempat ia berpikir, Farhan sudah meraih Luna ke pelukannya.
Tubuhnya merespon dengan kaku. Rasanya sangat aneh dan asing. Ia ingin cepat-cepat melepaskan diri. Namun tak lama kemudian, ada gelenyar rasa nyaman perlahan menggelitik perutnya. Inikah rasanya punya saudara?
Ya, Luna tak pernah dipeluk, bahkan oleh kedua orang tuanya. Mungkin hanya ketika ia masih bayi atau balita, dan memori itu tak terekam sama sekali di benaknya. Masa kecilnya lebih sering dilalui dalam pengabaian dan kepedihan.
Belum sempat Luna membalas pelukan itu, Farhan sudah lebih dulu melepasnya. Lelaki itu membingkai wajah Luna dengan telapak tangannya. Matanya tampak memerah. Suaranya bergetar saat berkata, "Wajah kita mirip banget, ya, Yuk."
Saat berpisah, Farhan bahkan belum bisa membersit hidungnya dengan benar. Kini, bocah itu menjelma jadi pemuda gagah dan tinggi. Kulitnya bersih. Matanya bulat dan besar, persis seperti mata Luna.
Luna tersenyum kaku nyaris seperti seringaian. "Kamu sudah besar, Han." Alih-alih mengucap rindu atau bertangisan haru, malah kata-kata aneh itu yang keluar dari mulutnya. Hidupnya sudah terlalu rumit. Memikirkan hal-hal melankolis tak pernah menjadi prioritasnya. Buang-buang waktu!
"Ayuk cantik sekali," kata Farhan memuji.
"Bisa aja kamu!" Luna menonjok bahu adiknya dengan kepalan tinjunya. "Ayo! Kamu pasti lapar."
Farhan mengangguk. Ia pun merasa agak canggung dan asing. Wajar, bukan? Lima belas tahun tidak bertemu, lalu tiba-tiba sang kakak menyuruhnya datang ke Jakarta untuk menjadi wali nikah. Ia bahkan tidak begitu ingat dengan sosok Seto, tetangganya dulu sekaligus calon suami kakaknya.
***
Luna menelan makanan dalam diam. Sedari tadi, hanya Farhan yang sibuk bercerita tentang kegiatannya sehari-hari. Lelaki itu aktif dalam organisasi kampus. Luna lebih betah menyimak sambil sesekali menanggapi singkat. Berbeda dengan dirinya, Farhan tumbuh menjadi pribadi yang riang dan percaya diri. Mereka bagaikan langit dan bumi.
"Gimana kabar Dion?"
"Dion baik-baik aja, Yuk." Farhan mengunyah suapan terakhirnya. "Dia lebih mirip Ayuk, sih. Nggak banyak bicara."
![](https://img.wattpad.com/cover/207132188-288-k796828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...