31. Prejudice

5.4K 1.1K 177
                                    

Melihat Luna melengos, langkah Seto langsung terhenti. Senyuman di bibirnya lenyap sudah. Rindu yang tertahan perlahan runtuh. Butuh beberapa detik baginya mencerna sikap Luna. Prasangka dan cemburu yang dalam seminggu terakhir bercokol di kepalanya kembali muncul. Namun, begitu ekor matanya mampir sejenak ke wastafel, ia tiba-tiba menelan ludah. Ekspresinya serba salah.

Seto menggaruk kepalanya yang tak gatal.  Dilihatnya Luna menunduk. Ia segera menyingsingkan lengan baju, kemudian memutar keran air, membasahi spons dan memberinya sabun.

Mungkin Luna marah melihat rumahnya berantakan. Bau tidak sedap yang kemarin tercium begitu ia masuk sudah berganti dengan wangi bunga. Pikirnya, Luna sudah mengganti isi penyemprot parfum ruangan otomatis yang tersangkut di dinding.

Hening. Hanya terdengar suara piring beradu lembut.

"Ke mana aja lo?" tanya Luna tiba-tiba.

"Ya?" Seto terperanjat. Sebuah gelas terlepas dari tangannya, menimbulkan suara nyaring. Seto buru-buru mengangkatnya. Untung saja gelas itu tidak retak. "Nggak ada."

"Kenapa lo nggak jemput gue?"

Seto terperangah. "Hah? Lo minta dijemput?"

Luna menyesal telah bertanya. Kentara sekali suaranya menyimpan harapan sekaligus bias kecewa. Tatapannya menerawang ke dinding tak jauh di depannya

Seto meraba-raba saku celananya. Tak lama kemudian ia meringis. "Kayaknya kemarin ponsel gue ketinggalan di bengkel, Na."

"Kemarin?"

"Seharian ini gue nggak ke bengkel." Seto menjawab kernyitan di dahi Luna.

"Tutup?"

"Cecep yang buka."

"Kenapa?"

"Males. Kepingin libur."

"Oh." Luna sama sekali tidak mempercayai ucapan Seto. Di zaman yang sudah serba digital, siapa yang sanggup hidup tanpa ponsel? Apalagi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Seto bercengkrama dengan mantan istrinya juga bocah perempuan itu.

Berbagai rasa berkecamuk di benaknya. Apakah itu yang namanya cemburu? Kalaulah betul, rasanya jelas tidak enak sekali. Dadanya seperti diimpit batu besar, menyesak dan mengentak.

Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Apakah itu juga yang dirasakan oleh Untari, mantan istri Seto, ketika melihat suaminya dekat dengan perempuan lain, meskipun suaminya dan perempuan itu telah bersahabat semenjak kecil?

Entahlah.

Yang jelas, rasanya ... sakit.

Luna lelah selelah-selahnya. Ia bangkit dari duduknya. Mulutnya bungkam seribu bahasa. Tak ia pedulikan Seto memanggil namanya lemah dengan nada bersalah.

Ia mengempaskan pintu kamar, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Beberapa detik ia lalui sambil berpikir, memilih mana yang lebih baik antara beberapa batang rokok atau sebotol Cointreau untuk menenangkan diri.

Ekor matanya menangkap sebuah pisau cutter yang bilah tipisnya mengkilat, lalu ia melirik pergelangan tangannya sendiri.

Kosong.

Luna menghitung detik demi detik seirama dengan detak jantungnya.

Ah, sial!

Ia melempar cutter tersebut ke bagian paling belakang, lalu menutupinya dengan botol minuman sampai tidak terlibat lagi. Tangannya meraih botol obat tidur dan mengeluarkan isinya dua butir. Luna menelannya tanpa air.

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang