36. Hesitate

5.3K 1.1K 307
                                    

They want for the best for their child, with their own perception. They feel know better for their child than the child themselves. And they said, "It's love."Anonim.

Seto termangu memandangi mobil yang ditumpangi Luna bergerak, berbelok, lalu hilang dari pandangan. Beberapa menit kemudian ia berjalan gontai menyusul ibunya ke dapur yang merangkap sebagai ruang makan. Perasaannya tidak enak.

Ayahnya hanya melirik sekilas sambil menyeruput kopinya. Seto ikut duduk dan meminum kopi dalam diam. Enggan. Napasnya terasa sesak berada di ruangan yang sama dengan ayahnya. Tatapannya terkunci pada cangkir kopinya. Ia sedikit menyesal menolak tawaran Luna pulang bersama. Separuh jiwanya terasa kosong tanpa kehadiran istrinya.

Tiba-tiba saja ia merindukan kopi buatan Luna. Hasil racikan ibunya tidak seenak racikan istrinya. Seto buru-buru tersadar. Kurang ajar sekali, tidak wajar ia membandingkan keduanya. Masing-masing perempuan itu punya tempat istimewa dalam hatinya.

"Mana Shaka?" Suara bariton ayahnya memecah kesunyian. "Masih belum bangun?"

Diah beranjak dari tempat duduknya ke kamar Shaka. Ia menguak pintu, mengintip sebentar lalu menutupnya kembali.

"Sepertinya masih tidur, Pak," katanya sesampainya kembali di dapur.

"Tidak baik tidur lagi setelah subuh," gerutu Hakim masam.

"Mungkin kecapean, Pak. Semalam Ibu melihat Shaka membawa pekerjaannya pulang."

Lelaki itu tak berkata apa pun lagi. Ia meneguk sisa kopinya dan beranjak ke luar dari dapur. Sambil lalu ia berkata, "Bangunkan dia sebentar lagi. Acara dimulai pukul sepuluh. Jangan sampai kita terlambat."

"Iya, Pak."

Tinggallah ibu dan anak itu saling termangu. Diah menggenggam cangkir teh hangat dengan jemarinya.

"Begitulah Bapak, masih seperti dahulu," Diah memaksakan senyuman pada putra sulungnya. Ada rasa bersalah sekaligus rasa tak berdaya karena gagal menjadi jembatan antara ayah dan anak yang hubungannya tak kunjung membaik itu.

Seto terkekeh memaklumi, "Sudah bawaan orok, ya, Bu?"

Diah menarik napas panjang. "Maaf, ya, Bang. Ibu merasa nggak enak pada kalian atas sikap Bapak."

Seto menggenggam kedua tangan ibunya dan meremasnya lembut. "Nggak apa-apa, Bu. Abang sudah terbiasa," kilahnya. "Lagipula, enggak diusir saja Abang sudah bersyukur."

Memang benar ia sudah terbiasa dibanding-bandingkan dengan Shaka, meski juga mengakui sikap ayahnya menyisakan pedih yang tak kunjung usai. Akan tetapi, hey, laki-laki tidak boleh cengeng, bukan?

"Abang mungkin sudah terbiasa, tapi bagaimana dengan Luna?"

Seto terdiam dan tertunduk. "Mungkin Luna bisa mengerti," ucapnya berusaha menghibur ibunya sekaligus dirinya sendiri, berharap hal yang sama.

Bimbang, itulah yang terasa. Di satu sisi, ia baru pulang ke rumah orang tuanya. Di sisi lain, Luna adalah istrinya dan ia belum mampu pasang badan untuk membela Luna dari sindiran tajam ayahnya.

Ibunya tak lagi bicara, melainkan menghitung kerutan di punggung tangannya yang mulai dimakan usia.

"Ya sudah, Ibu mau membangunkan Shaka dulu."

"Ya, Bu."

Keheningan itu hanya berlangsung sebentar, sebelum ibunya kembali ke dapur dengan tergopoh-gopoh dan wajah pias.

"Ada apa, Bu?" Seto bangkit dari tempat duduknya.

"Shaka hilang!"

"Lho? Hilang gimana?" Seto bergegas menyusul ke kamar Shaka yang tidak terkunci itu. Lampu kamarnya sudah menyala. Ia mendekat, lalu menguak selimut yang menyelimuti sosok seseorang di atas tempat tidur.

Platonic Marriage (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang