Hanya dalam hitungan detik, Seto telah berlari, bersimpuh di kaki sang ibu. Tangisannya pecah. Air matanya tumpah ruah. Rindu yang menyesak dalam beberapa tahun terakhir, terlampiaskan oleh sebuah pertemuan mengharukan.
Baru tadi sore terlintas di benak Seto tentang ibunya. Tuhan mengabulkan pintanya. Kini mereka berpelukan. Seto berkali-kali meminta ampunan. Berkali-kali pula ia mengatakan rindu.
"Ya Allah, Bang! Ibu juga rindu." Wanita paruh baya bernama Diah Jayanti itu ikut menangis sesenggukan. Tak ada seorang ibu pun yang tidak merindukan anaknya siang dan malam. Terlepas dari berapa pun banyaknya kesalahan sang anak, ikatan batin tak kan pernah putus. Hanya saja, ia terpaksa menuruti titah sang suami agar Seto ditinggalkan. Suaminya adalah laki-laki berwatak keras dan tegas. Diah tak kuasa berbuat apa-apa. Hanya sebaris doa yang terus ia lantunkan di sepertiga malam, agar semesta berbaik hati menjaga si sulung yang ia panggil Abang itu.
Luna sendiri tidak tahu apakah ia harus ikut menangis melihat pertemuan mengharukan tersebut. Yang jelas, air matanya ikut berlinang. Tenggorokannya membengkak.
Selama Luna hidup, jarang sekali ia melihat Seto menangis. Mungkin hanya dua kali sebelumnya. Kali pertama, saat Seto diusir oleh keluarganya. Kali kedua, ketika sahabatnya itu kehilangan Arkan, putera semata wayangnya. Bahkan, saat rumah tangganya karam karena orang ketiga, dan Seto keluar dari kantor Pengadilan Agama dengan membawa akta cerai di tangannya, Seto masih bisa tertawa lebar mentraktir Luna makan siang di restoran ternama. Padahal ia tahu, harga makanan di sana tidaklah murah. Tidak sebanding dengan porsi kecil yang dihidangkan pelayan. Luna pun tak perlu bersusah payah menghiburnya. Seto kelihatan baik-baik saja pada saat itu.
Ah, sialan! Luna mengerjapkan matanya cepat-cepat. Ia membenci suasana melankolis seperti ini. Berurai air mata hanyalah sebuah bentuk kesia-siaan. Tangisan merupakan puncak tertinggi dari piramida emosi, dan Luna mempercayainya sebagai kelemahan. Ia menghindari itu mati-matian. Lagipula, Seto itu adalah seorang mantan preman!
Mantan preman, kok, nangis?
Setelah ibu dan anak itu selesai melerai rindu, Luna beringsut maju. Ia ikut menyalami Diah, ibunda Seto yang sejak kecil ia panggil Umi, panggilan seluruh warga kompleks ketika mereka bertetangga dulu. Padahal di keluarga Seto, hanya Shaka, adiknya Seto yang memanggil Diah dengan sebutan Umi. Entah kenapa, dua bersaudara itu memanggil ibunya dengan sebutan berbeda. Gelar kecil itu seolah mendapatkan tuah, melekat di benak sebagian besar masyarakat. Apalagi saat itu bapaknya Seto adalah seorang ketua RT sekaligus pengurus masjid.
"Luna apa kabar, Nak?" sapa Diah sembari ikut memeluk Luna. "Makin cantik saja. Sudah lama kita nggak ketemu. Ibu dan bapak apa kabarnya?"
"Kabar baik, Umi."
"Masih di Kalimantan? Luna sendirian di sini?"
"Begitulah, Umi. Luna masih betah di Jakarta. Mari masuk dulu, Umi." Luna menjawab sambil nyengir, malas membahas kabar keluarganya.
Senja hampir berganti malam. Barangkali Diah ingin menumpang salat Maghrib terlebih dahulu. Akan lebih baik lagi kalau wanita itu menginap, paling tidak Seto bisa berlama-lama bersama ibunya.
Luna menyimpan pertanyaan dari mana Diah mengetahui alamat kontrakannya. Ia sendiri sering berpindah kontrakan, mungkin sudah belasan kali sejak terakhir kali mereka bertetangga.
***
Luna menghidangkan makan malam di atas meja. Nasi hangat masih mengebul sekeluarnya dari penanak nasi. Piring dan teman-temannya pun dikeluarkan dari lemari.
Ketika Seto dan ibunya salat Maghrib, ia bergegas pergi ke warung makan terdekat untuk membeli lauk. Untung saja kunci motor Seto diletakkan di atas meja. Sangat tidak sopan bila Luna tidak menawari makan malam karena mereka sudah lama tidak berjumpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...