Death is peaceful, easy. Life is harder — Bella Swan, Twilight.
"Lo mau ke mana, Na?" Seto mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan dengan cahaya lampu kamar yang menyala. Ia terbangun mendengar suara grasak-grusuk koper yang dibuka.
Luna tak berhenti memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam ransel, kemudian menutup resletingnya. "Gue mau pulang ke Jakarta."
"Hah?!" Seto terperanjat dan bergegas bangkit. Matanya melirik jam tangan yang tergeletak miring di samping bantal. "Pulang? Sekarang?"
"Hmm."
"Kenapa?"
"Hasil audit gue yang terakhir bermasalah, To."
"Apa? Lo yakin?"
"Yakin. Barusan atasan gue menelepon."
"Na?" Seto merenggutkan tangan Luna sampai mereka berhadap-hadapan. Ia menatap Luna dalam-dalam sebelum Luna membuang muka. "Apakah harus pulang saat ini juga? Nggak bisa besok saja? Atau setidaknya nanti sore."
Luna mati-matian menjaga suaranya tetap datar dan tenang. "Gue nggak mau berurusan dengan BPK, To. Karier gue bisa tamat."
Seto mengusap wajahnya kasar. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Luna kerjakan di kantornya, memeriksa keuangan instansi-instansi lain dan ia juga tidak mengerti bagaimana rumitnya itu. Tetapi sudah pasti Luna tidak bekerja sendirian, ada tim yang terlibat di dalamnya.
"Lo mau ikut dengan gue?" tanya Luna tiba-tiba. Ada sebilah asa tersemat dalam nada suaranya.
"Gu–gue," Seto tergagap. Tawaran itu begitu menggoda imannya. Benaknya berpikir dengan cepat sebelum menjawab, "Kalau lo pulang sendirian, nggak apa-apa, kan, Na? Maksud gue, nanti siang Shaka ... Ibu—"
Luna mengangguk pedih. Padam sudah harapannya. "Gue ngerti. Tapi maaf, gue nggak bisa hadir bersama kalian."
"Oke ... nggak apa-apa." Seto dengan berat hati membantu mengangkat ransel tersebut ke punggung Luna.
"Tolong bawain sisa barang-barang gue."
"Ya." Seto mengangguk, kemudian memegang lengan Luna lagi, berat rasanya melepas istrinya pergi. "Apa nggak bisa nunggu pagi dulu, Na? Ini masih pukul setengah enam."
"Enggak bisa."
"Lo nggak menyembunyikan sesuatu dari gue, kan?" selidiknya lagi. Seto mengakui tingkat kepekaannya di bawah rata-rata. Namun, kali ini jantungnya berdetak lebih kencang. Ia merasa ada yang disembunyikan oleh Luna. Sebelum ia sempat bertanya lebih banyak, Luna sudah kabur dari hadapannya. Seto bergegas mengikuti Luna yang bergerak mencari ibunya.
"Na?" Diah terheran-heran melihat Luna telah rapi dengan ransel di punggungnya. Ia meletakkan cangkir kopi yang belum diberi air panas di atas meja.
"Maafin Na, Umi. Na harus pulang ke Jakarta."
"Ada apa, Nak?" Diah mendekat.
Luna melirik suaminya sebelum menjawab dengan nada sungkan, berusaha keras agar alasannya terdengar meyakinkan. "Hasil audit keuangan Na yang terakhir bermasalah, Umi. Kami harus mengurus itu secepatnya."
"Lho?" Diah melirik putranya yang hanya menggelengkan kepala lemah.
"Maaf, Umi, Na nggak bisa lama-lama di sini." Luna meringis. Sungguh, melihat raut kecewa di wajah Umi Diah membuat rasa bersalahnya semakin besar. Ia sangat menghormati Umi Diah. Perempuan itu punya andil besar dalam beberapa episode kehidupannya. Salah satu alasannya menerima lamaran Umi Diah waktu itu juga tak lepas dari faktor utang budi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...