Luna memasukkan beberapa potong tahu yang sudah diberi bumbu ke dalam wajan penggorengan. Semalam Seto meminta itu sebagai menu sarapan paginya. Biasanya dia mencocolnya dengan sambal kecap.
Kemudian, terdengar decitan engsel pintu kamar mandi yang terkuak. Luna segera memutar tubuhnya dan berkata, "Tupperware yang kemarin udah lo bawa pu—"
Tiba-tiba saja suaranya menggantung di udara. Mulutnya setengah menganga. Tampak olehnya Seto keluar dari kamar mandi hanya mengenakan sehelai handuk berwarna kuning gading yang menggantung di pinggulnya. Mungkin dengan satu kali tarik saja handuk tersebut sudah lepas.
Ini memang bukan kejadian yang pertama. Sebelum-sebelumnya, Seto keluar dari sana hanya mengenakan celana panjang atau celana pendek selutut dan membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka. Padahal dulunya ia membawa pakaian lengkap ke kamar mandi dan langsung menggantinya di dalam.
Luna tak mampu berpaling. Lehernya kaku tak bisa digerakkan. Otot perut Seto tampak biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjolseperti dalam iklan sepintas lalu yang sering dilihatnya di berbagai halaman di internet.
Namun, yang menarik adalah beberapa bekas luka yang letaknya tidak beraturan, tetapi malah menambah kesan maskulin di tubuh itu. Sebuah bekas luka vertikal sepanjang lima atau enam sentimeter berada tidak jauh di bawah tulang rusuknya. Seto pernah berkata, dia mendapatkan dua puluh jahitan luar dalam untuk luka tusuk tersebut. Di bagian bawah bahu juga terdapat luka memanjang seperti garis miring menuju dadanya, katanya bekas sabetan celurit saat berebut area kekuasaan dengan kelompok preman lain. Tidak ada bekas jahitan di sana. Mungkin luka itu dibiarkan sembuh secara alami. Sementara yang lainnya adalah bekas luka kecil-kecil yang Luna tidak tahu apa penyebabnya.
Ya, Seto memang suka menceritakan segalanya. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka, berbeda dengan Luna yang lebih suka menyimpan rahasia, perasaan, kegelisahan, harapan dan amarahnya rapat-rapat, hingga hidupnya terkesan biasa-biasa saja, bahkan cenderung monoton.
Nyatanya, bukan hanya Luna yang terpana. Seto pun terpukau saat menyadari Luna hanya mengenakan sebuah tanktop putih dengan bra berwarna hitam membayang samar dari dalam. Belahan dadanya menyumbul malu-malu. Warna kulit Luna kuning langsat dan merata. Seto sampai lupa, dulunya Luna adalah gadis yang dekil. Bukan hanya itu, perut isterinya datar sekali. Lekukan di lingkar pinggang menuju panggulnya tampak indah, seperti tubuh model saja.
Dan sudah menjadi hukum alam bagi kaum lelaki, bahwa apa yang menyumbul sedikit saja itulah yang membuat hasrat meronta, bukan yang terpampang tanpa penutup sama sekali. Itulah sebabnya mereka suka berfantasi dengan lingerie, padahal nanti akan tetap merenggutnya secepat mungkin.
Tidak biasa-biasanya Luna berpakaian seperti itu. Apakah karena cuaca cukup panas?
Seto tidak tahu dan tidak berniat mencari tahu. Otaknya tak mampu berpikir jernih. Pemandangan indah itu membuat jantungnya berpacu. Ia diam-diam meneguk ludah.
Ke mana saja ia selama ini? Kenapa baru sekarang Luna tampak seksi di matanya? Sex appeal–nya ... menantang sekali. Ia ingin meraih tubuh itu dalam dekapan dan mencumbunya sepuas hati.
Ia pun tanpa sadar menghampiri Luna. Perempuan itu diam seperti patung. Matanya tak berkedip. Seto menyelipkan beberapa helai rambut yang menjuntai berantakan di kening Luna ke belakang telinga. Tatapannya jatuh pada bibir lembab setengah terbuka yang menggoda imannya.
Tangannya bergetar kala ia menyusupkan jemari ke belakang tengkuk Luna. Ia perlahan membawa kepalanya mendekat. Napasnya memburu.
"Lo cantik, Na," bisiknya lirih. Kapan terakhir kalinya ia mencium seorang wanita? Entahlah. Rasanya ... sudah lama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...