Ketika memasuki sebuah kantor yang asing, di sanalah Luna benar-benar bebas. Ia terlepas dari kungkungan basa-basi dan menampakkan wajah datar tanpa emosi. Maksudnya, siapa yang tidak deg-degan menyambut kedatangan tim audit keuangan? Bendaharawan dan kepala dinas tak jarang berkeringat dingin.
"Saya maunya SPJ yang asli," kata Luna saat pihak terkait menyodorkan tumpukan SPJ hasil fotocopy.
"Baik, Bu."
Luna dan Rafli membolak-balik isi bundelan tersebut. Sesekali kening keduanya berkerut. Saat bekerja, mereka melupakan masalah pribadi terlebih dahulu.
Biasanya, tim yang berangkat ke lapangan terdiri dari empat atau lima orang. Kali ini berbeda, mereka hanya berdua karena para auditor lain sibuk dikerahkan ke instansi lain.
Tiba jadwal makan siang, mereka dilayani dengan baik. Luna menyantap menu apa saja yang disediakan tuan rumah. Ia terlalu malas untuk memilih.
Tanpa banyak bicara, ia malah larut dalam lamunan, mengabaikan Rafli yang sesekali mengajaknya bicara. Persoalan rumah tangga kembali mencuat di benaknya.
Sebenarnya, aktivitas seksual itu enak banget, asalkan bisa berhenti di saat yang tepat ....
Di awal pernikahan mereka, Luna bisa mempercayai Seto. Pria itu pernah menatapnya dengan ekspresi aneh, seolah ia bukanlah wanita yang menarik. Namun, itu malah membuatnya lega dan senang. Belati yang dulu menghuni bawah bantalnya hanya bertahan selama tiga hari saja.
Kini ia meragukan spekulasinya. Setahunya Seto adalah laki-laki normal. Entah sampai di batas mana Seto membutuhkan aktivitas seksual, atau sepenting apa kegiatan yang menurut Luna menjijikkan itu bagi Seto. Pria itu sudah lama menduda. Dia juga tampaknya tak berniat bermain nakal dengan perempuan bayaran. Seto pernah berkata bahwa dosa terbesarnya adalah berzina. Tidak mungkin dia berniat jatuh di lubang yang sama dua kali, bukan?
Dan bukan tidak mungkin juga, seiring berjalannya waktu, Seto jadi berminat kepadanya.
Arrrgh, sialan!
Benaknya kini dipenuhi asumsi-asumsi pribadi. Selera makannya sudah lenyap sedari tadi.
Luna terlonjak ketika ponselnya berbunyi. Nampak nama Umi Diah tertera di layarnya. Ia buru-buru mengangkatnya.
"Ya, Umi?"
"Assalamualaikum, Na. Bagaimana kabarnya, Nak?"
"Waalaikumsalam, Umi. Na sehat Mi."
"Luna sama Abang baik-baik aja, kan?"
"Kami baik-baik saja, Umi. Jangan khawatir. Umi sehat?"
"Alhamdulillah. Syukurlah. Umi cuma mau nanya itu saja. Na lagi kerja, ya?"
"Iya, Mi. Ada audit di luar kota."
"Ya sudah, jaga kesehatan ya, Na. Umi doakan semoga kalian diberi momongan secepatnya."
Deg!
Luna tiba-tiba meneguk ludah. Wajahnya pias. Sampai panggilan berakhir, tubuhnya terasa di awang-awang. Tampaknya, Umi Diah pun memiliki pakem yang sama.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah kubilang, buat apa kau sekolah tinggi-tinggi? Kau kira orang tuamu kaya raya?!"
"Na ... cuma minta uang lima belas ribu, Yah, buat bayar LKS," cicitnya ketakutan.
"Diam kau, anak sialan!"
Luna menunduk memandangi jari kakinya. Ucapan sang ayah membuat nyalinya ciut. Mati-matian ia menahan air mata yang hendak tumpah. Segala sumpah serapah siap ia dengarkan, asalkan uang tersebut ia dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Storie d'amore(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...