Kalau kau tidak punya banyak keinginan, hidupmu selalu berkecukupan — Harper Lee, Go Set a Watchman.
Luna butuh beberapa saat untuk mereka-reka keanehan dalam sikap Seto barusan. Tidak mungkin lelaki itu jatuh cinta kepadanya, bukan?
Kepalanya mengeleng-geleng. Lebih baik ia beranjak ke kebunnya.
Setibanya di sana, napasnya berhembus kasar melihat jejak siraman pada media tanam masing-masing polibag. Seluruhnya basah.
Ia mengisi ember dengan air, kemudian mencampurkan bubuk tricoderma sebagai antisipasi agar akar tanamannya tidak busuk terkena jamur.
Setelah selesai, ia kembali ke rumah, kemudian menyambar ponselnya. Sejak kemarin sore ia menahan diri untuk tidak menelepon ibunya. Untuk apa Seto mengirim sejumlah uang kepada wanita itu. Apakah atas inisiatif Seto sendiri, atau permintaan pribadi? Perasaannya tidak enak.
Pada nada dering ketiga, panggilannya diangkat. Ia sempat heran, ibunya mengajak berbasa-basi sebentar menanyakan kabar. Tidak seperti biasa yang mana ocehannya selalu berisi keluhan. Luna menghindari topik mengenai ayahnya, meski ibunya tetap menyinggungnya sesekali. Berita tentang lelaki itu membuatnya muak.
Saat menerima gaji pertamanya, Luna meminta ibunya menggugat cerai. Ia percaya dengan kemampuannya, merasa sanggup membiayai ibu dan adik-adiknya, berempat di Jakarta. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala pun akan ia lakukan.
Akan tetapi, wanita itu menolaknya dengan alasan adik-adiknya masih terlalu kecil dan takut keduanya tumbuh menjadi korban broken home. Tahu apa ibunya tentang broken home? Apakah dia juga tahu, tumbuh dalam keluarga yang mengalami disfungsi peran pun sama saja buruknya, bahkan jauh lebih mengerikan?
Luna tentu saja kecewa.
Ibunya terus bersabar dan menghabiskan waktu dengan berdoa yang dianggapnya sebagai kemuliaan. Katanya agar hati ayahnya dilembutkan. Apakah ayahnya berubah? Tidak. Menurut Luna, doa-doa tersebut tidak sampai ke langit, malah tersangkut di suatu tempat. Mungkin Tuhan terlalu muak mendengar keluh kesah berkepanjangan atau ingin memberi pelajaran pada ibunya. Tapi sampai saat ini, pelajaran itu tetap tidak sampai pada tujuannya. Mungkin wanita itu terlalu bebal.
"Apa benar, Seto mentransfer sejumlah uang untuk Ibu?"
Ibunya terdiam sejenak, lalu nada suaranya terdengar bersalah. "Benar, Na."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya? Memangnya tidak boleh Seto mengirim uang untuk mertuanya?" Tiba-tiba nada suaranya terdengar gusar.
Luna menghela napas. Seto memang bukan orang yang kikir, bahkan sangat royal. Tapi, ia meragukan motif Seto.
"Mungkin pertanyaan sederhananya begini, Bu. Apakah Seto mengirim uang atas permintaan Ibu atau atas inisiatif Seto sendiri?"
Hening sejenak, lalu ibunya menjawab dengan tergagap, "Itu ... Na, itu ...."
Luna seketika tahu jawabannya. Ibunya tidak bisa berbohong, begitupun terhadap ayahnya. Dulu, dia tidak bisa menyembunyikan keberadaan uang dari lelaki tambun itu, sehingga selalu habis di meja judi.
Ingin rasanya Luna memaki, tetapi yang keluar hanyalah desisan dari sela-sela gigi yang gemeletuk. "Apa belum cukup kiriman Na tiap bulan, Bu? Kenapa sekarang Ibu harus memeras Seto?"
"Memeras bagaimana? Dia menantu Ibu."
"Dia memang menantu Ibu tapi bukan berarti Ibu bisa minta uang seenaknya!" pekik Luna tajam. Mukanya kini berubah merah padam. Yang tersisa dari Luna terhadap ibunya hanyalah segumpal amarah, sehingga sulit baginya untuk bicara dengan lembut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...