"SETO!!!" Terdengar teriakan nyaring dari kamar mandi belakang. Seto yang sedang menyeruput kopinya, buru-buru meletakkan cangkir di atas meja, lalu bergegas menyusul Luna. Setibanya di sana, ia mendapati perempuan itu tengah melotot. "Harus berapa kali gue bilang, kainnya jangan sampai basah begini!"
Seto melongok ke dalam ember biru berukuran sedang itu, lalu mengangkat bahunya dengan tampang tak berdosa. "Mau bagaimana lagi, namanya juga mandi, otomatis airnya nyiprat kemana-mana."
Kedua bola mata Luna langsung menyipit. "Lo nggak ada inisiatif buat taruh ember pakaian lo di luar dulu sebelum mandi?"
"Enggak. Biasanya juga begitu, kok."
Bahu Luna seketika merosot. Dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Sudah satu minggu lamanya mereka menikah. Sekarang ia tahu, menyatukan isi dua kepala dalam satu rumah dan mengharapkan kerja sama yang baik itu amatlah susah.
Benar kata orang, setelah menikah, segala kebiasaan baik dan buruk tak dapat lagi ditutup-tutupi. Seto bersikap seenak perutnya. Kebiasaannya membuat Luna sering menghela napas panjang. Ia yang terbiasa hidup sendiri, kini harus mengerjakan pekerjaan lebih dari biasanya.
Luna harus bangun lebih pagi dan bergegas menyiapkan kopi serta sarapan. Seto tak lagi mengomeli takaran kopinya. Mungkin rasanya sudah pas atau dia lelah mengoceh. Semenjak hidup berdua, ia mulai memasak lagi demi menghemat uang belanja. Terlebih lagi, Seto ikut membawa bekal makan siang ke bengkelnya. Sepulangnya bekerja, ia menyempatkan diri berbelanja kebutuhan dapur terlebih dahulu. Tidak setiap hari, tapi itu cukup menyita waktu.
Pria itu tak mau mencuci piringnya sendiri, melainkan menumpuknya di wastafel. Setelah tak lagi merokok, kebiasaan minum air putihnya juga menyusahkan. Tiap kali minum, Seto selalu mengambil gelas yang baru, sehingga tumpukan gelas kotor semakin banyak.
Pakaian kotor sering diletakkan di atas tumpukan kain bersih yang belum disetrika. Luna sampai harus mencium baunya terlebih dahulu saat memilahnya. Belum lagi handuk basah bertebaran tak tahu tempat. Hari ini di kamar mandi, esok di kursi makan, esoknya lagi di kursi tamu.
Begitu juga dengan pakaian kotor dan celana dalam basah setelah mandi, ditumpuk jadi satu dalam ember, dan tak jarang disiram air sampai semuanya basah kuyup. Seto tidak mau mencuci pakaian dalamnya sendiri, hingga Luna harus turun tangan. Rasanya aneh dan geli!
Entah bagaimana kehidupan Seto sebelumnya. Luna bersyukur tak pernah masuk ke kamar Seto di bengkel. Ia membayangkan, mungkin tempat tersebut tak ubahnya seperti kandang sapi saking berantakannya.
"Lain kali, tolong dipisahin antara pakaian basah dan pakaian kering. Kalau ditumpuk jadi basah begini, lama-lama baunya kayak mayat!"
"Lebay, ah! Memangnya lo pernah cium bau mayat?" kilah Seto dengan polosnya.
Luna memberengut, "Nggak!"
"Lo pengen tahu bau mayat kayak gimana?"
"Memangnya kayak gimana?"
"Besok-besok, deh, gue kenalin elo sama teman gue. Dia sering jadi relawan yang ikut mengevakuasi jenazah korban bencana. Lo tanya aja sendiri."
"Lalu, apa hubungannya sama gue?"
"Lho, bukannya tadi elo nanya bau mayat itu kayak gimana?" Seto menoyor kepala Luna sambil nyengir.
Luna tersadar fokusnya telah teralihkan. "Jadi, pakaian lo ini gimana ceritanya?"
"Ya, lo cuciin, dong!"
"Gue nyuci tiga hari sekali, To." Semenjak ada Seto, dalam seminggu ini ia terpaksa mencuci tiap hari agar pakaian tersebut tidak berbau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Marriage (END - Terbit)
Romance(Telah di unpublish beberapa bagian) Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan...