CHAPTER 12: NEWS

38 9 2
                                    

Happy reading!

Chapter 12 — News

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 12 — News

Setelah lima hari berada di ICU dan di perbolehkan meminum air hanya dengan jangka waktu sepuluh menit, kini Bellova terbaring di kamar VVIP yang ia tempati sebelum dirinya di bawa menuju ruang ICU dengan selang pernapasan yang terpasang di hidungnya. Ingatannya kembali pada papan nama yang terpasang di head foot ranjang pasien yang di tempatinya saat ini.

Di sana tertulis jelas, jika ada dua dokter yang akan menanganinya selama menjalani rawat inap. Tatapannya beralih pada Daniel yang duduk di sofa sedang mengerjakan lagu Cold In LA, perasaan bingung pun menghantui Bellova.

Siapa yang akan melunasi semua administrasi biaya pengobatannya? Pasti harganya tidak murah.

"Ada yang kau butuhkan, Bells?" tanya Daniel melepas headphone berwarna hitam, berjalan mendekat ke arah Bellova.

Ingin menanyakan apa yang berada di dalam otaknya, tetapi mulut Bellova terasa keluh. "Di mana ponselku?"

Daniel merogoh tas ransel yang di bawa Dinda beberapa hari yang lalu berisi perlengkapan Bellova, lalu menyerahkan benda yang ia pegang kepada sang pemilik.

"Ini?" tanyanya menunjukkannya kepada sang pemilik.

"Ya. Itu!" girang Bellova mengambil smartphone bercashing hitam dengan tulisan 1D x WDW dari tangan kanan Daniel. "Terima kasih, Uncle."

"Sama-sama," balas Daniel tersenyum lebar.

"Mom di mana?" tanyanya lagi sambil celingukan mencari keberadaan Dinda. Karena baru saja terbangun dari alam mimpi. "Aku tak melihatnya sama sekali."

"Sedang sarapan di kantin bersama Noah." Daniel menjawab seraya menyeret kursi ke samping ranjang Bellova untuk di dudukinya. "Bagaimana kondisimu?"

"Lebih baik daripada sebelumnya!" seru Bellova sebelum membekap mulutnya dengan kedua tangan.

"Tak apa. Aku senang, kau terlihat lebih bersemangat." Daniel tersenyum lebar, wajahnya tak murung lagi seperti beberapa hari yang lalu. "Dengan begitu, kita bisa mengunjungi Universal Studio Hollywood bersama Ibumu dan Noah. Bagaimana pendapatmu, little girl?" tawarnya mengelus puncak kepala gadis yang pada bagian kakinya tertancap oleh jarum infus ini dengan penuh kasih sayang dan sentuhan seorang ayah.

Bellova spontan memeluk Daniel. "Itu pasti akan menyenangkan. Love you, Dad!"

"Love you too, little girl."

Pintu kamar rawat inap Bellova terbuka, postur tubuh Dinda berdiri tegap di sana. Tangannya menggandeng tangan Noah, kakinya melangkah mendekat ke ranjang Bellova.

"Hei, kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu?" Dinda menanyakan keadaan Bellova sambil mengangkat tubuh Noah agar bisa duduk di tepi ranjang.

"Ya. Lebih baik," jawab Bellova singkat di sertai senyuman lebar, lalu menatap kaki kirinya yang sedikit bengkak. "Kapan jarum infusnya akan di cabut? Sejak kemarin, aku selalu bosan di kamar. Hanya tidur, makan, dan memainkan ponsel. Tidak bisakah aku berjalan-jalan ke taman rumah sakit?"

Dinda dan Daniel saling melempar tatapan bingung. Seakan telah membicarakan jawaban untuk menjawab pertanyaan serius dari Bellova melalui telepati bersama Daniel, Dinda pun angkat bicara. Sementara Daniel, ia pamit keluar untuk memberikan ruang bicara antara ibu dan anak ini.

Daniel berdiri dari kursi, menepuk bahu Dinda. "Aku pamit dulu, membeli sarapan."

"Iya." Dinda di kursi kosong itu, memegang lembut tangan kanan Bellova. "Semua ada waktunya, Bells. Ga ada yang instan. Butuh proses panjang buat dapetin suatu hal. Di balik semua itu, ada perjuangan yang ga keliatan di mata semua orang tapi bisa kamu rasain. Dan mereka cuma melihat hasil dari perjuanganmu aja. Sebagian besar kayak gitu. Bukan masa-masa sulit yang kamu lewati."

Bellova terdiam memandang kaki kirinya kembali di sertai tatapan sayu seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Iya, Mom."

Pintu terketuk, menampakkan Suster Mary tengah membawakan baskom berisi air hangat yang di letakkan di atas nampan untuk mengompres Bellova selama menginap di rumah sakit ini.

"Permisi, Mrs. Seavey," ucap Suster Mary memberikan baskom tersebut. "Ini air hangat untuk Bellova."

Dinda pun menerima nampan itu, meletakkannya di atas nakas. "Thank you."

"You're welcome," putus Suster Mary meninggalkan kamar rawat inap itu.

"Mom, aku ngga mandi. Males," ungkap Bellova memandang datar baskom dan handuk kecil yang kini telah berada dalam genggaman tangan sang Ibu.

"Biar badan kamu seger, Bells," tutur Dinda memeras handuk, mengibaskannya di atas baskom, dan mengganti posisi duduk di tepi ranjang bersama Noah.

"Mom, please..."

"Bells!" Bellova menundukkan kepala, memainkan ibu jarinya. Ia sangat takut jika melihat Dinda telah memberinya sebuah nada peringatan dengan nada peringatan, meski tak pernah membentak dan main tangan. Tetapi, tetap saja. Baginya itu tetap menakutkan.

Ceklek!

Daniel membuka pintu, memegang knopnya untuk menutup kembali benda persegi panjang tersebut. Melangkah ke arah Dinda dan Bellova dan duduk di kursi.

"What's happened?" tanyanya, sebab suasana kamar ini terasa sedikit tidak kondusif.

Dinda mencelupkan handuk ke dalam baskom. "Dia tidak ingin membersihkan tubuhnya. Sudah seminggu ini dia tidak mandi."

"Aku merasa tidak nyaman, jika badanku hanya di kompres saja. Dan, kesegarannya tidak dapat kurasakan." Bellova mencoba memberikan pembelaan pada dirinya. Selagi ada Daniel disini, ia yakin amarah Dinda tidak meledak-ledak layaknya gunung berapi yang mengeluarkan lava dari dalam perutnya.

"Hanya sekali ini saja, okay? Selepas itu, pergelangan tangan dan kakimu akan di olesi salep yang di berikan oleh dokter untuk menyembuhkan luka-luka memar yang ada di tubuhmu," jelas Daniel menatapi pergelangan tangan dan kaki Bellova akibat jarum suntik yang selalu gagal menyuntikkan cairan infus di karenakan pembuluh darah yang pecah membuat gadis itu sedikit kecewa, karena tak berpihak padanya.

"Baiklah." Dinda mulai mengurus Bellova dan Daniel mengajak Noah berkeliling rumah sakit. Keduanya sama-sama membagi tugas dan tak mengeluh sama sekali dalam menjalaninya. Walaupun awalnya mereka merupakan orang asing yang akhirnya menjadi seorang teman akibat suatu insiden di LAX Airport.

***

Pemandangan malam hari Kota Los Angeles sangat indah dari atas gedung, cahaya-cahaya lampu setiap bangunan membuat kota ini bersinar terang dalam kegelapan malam.

Bellova yang kini terbaring di atas brankar, terlihat tengah merhatikan gerak-gerik dokter yang saat ini sedang memeriksa perkembangan katup jantungnya.

"Jadi, bagaimana perkembangan katup jantung Bellova sampai sejauh ini?" tanya Dinda sedikit gelisah selepas dokter memeriksa jantung Bellova menggunakan stetoskopnya.

"Sejauh ini, saya tidak dapat memantau perkembangan katup jantungnya. Karena, jika di periksa menggunakan stetoskop itu... Tidak bisa terdeteksi. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa di sana. Harus menggunakan Ekokardiografi, oleh sebab itu saya sarankan untuk di rujuk ke salah satu rumah sakit terbaik yang ada di Los Angeles, agar ia mendapatkan pengobatan terbaik di sana dari dokter spesialis jantung anak," jelas dokter menatap wajah Bellova, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dinda dan Daniel. "Setelah ia menyelesaikan masa pemulihannya."

Moga ga gaje, ya!
See you in the next chapter, guys!

Angel & the SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang