Enam bulan sejak kedatangannya ke Seoul, kini saatnya bagi Sean untuk kembali ke negaranya. Kedua orang tuanya sudah mulai menyuruhnya untuk belajar dan terjun ke dunia bisnis. Meskipun sebenarnya ia lebih senang terjun ke dunia desain dan menjadi seorang desainer seperti mamanya. Tidak apa-apa sebenarnya, Sean juga suka.
Gadis itu kini tengah menyiapkan barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam koper untuk keberangkatannya besok. Ia juga membawa beberapa oleh-oleh yang sempat dibelinya untuk kedua orang tuanya.
Sean mengepak perlahan lalu menyusun kopernya di sisi lemari agar mudah dibawa. Setelah selesai, gadis yang masih duduk di lantai itu melipat kedua kakinya. Sambil memeluk lutut, Sean mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar Junggo. Matanya menerawang jauh mengingat momen-momen manis yang terjadi di sini. Dari awal sejak pertama kali menginjakkan kakinya di sini, pertama kali membuat Junggo kesal, pertama kali mengintip Junggo mandi, pertama kali melihat Junggo menangis karena komputernya dirusak. Semua itu terulang di kepalanya.
Sean merasakan sesak, tetapi ini jenis sesak yang menyenangkan. Terkadang saat mengenang kisah yang ada di kepala, pasti perasaan rindu itu selalu muncul. Ingin mengulang semuanya, tetapi sadar bahwa hari yang lalu tidak bisa diulang kembali. Sean sedikit sedih, banyak senangnya. Di sini juga patah hati terhebatnya terjadi.
Tanpa sadar ketika mengingat semua itu, Sean meneteskan air mata. Sembilan tahunnya dengan Junggo dikalahkan oleh Keira yang baru setengah tahun bersama Junggo. Takdir kadang menyebalkan. Tak adil. Memang benar, semesta suka bercanda. Sengaja betul menertawai Sean yang sudah bertahan dalam perasaan sepihaknya.
Sambil menahan isakannya, Sean menggigit bibir bawahnya dan menarik napas. Memejam pelan, menguatkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, Sean lalu menenggelamkan kepalanya diantara lutut. Ini terakhir kali ia memasuki kamar Junggo dengan sisa perasaan yang tertinggal. Terakhir kali ia mengingat momen mereka yang banyak terjadi di sini. Terakhir kali ia mengingat ini dengan air mata.
Sean bahkan tidak menyadari kehadiran Junggo yang berdiri di depan pintu, menatap Sean penuh rasa bersalah dan sedih. Padahal niatnya ingin membantu Sean berkemas, tetapi justru dihadapkan dengan keadaan yang tak terduga.
Kendati Sean sudah menahan isakannya, Junggo masih bisa mendengarnya dengan jelas. Tarikan napas putus-putus, kedua bahu yang bergetar serta kepala yang menunduk. Sean terluka, tapi Junggo tidak tahu cara menenangkannya.
Jadi, Junggo menunggu di sana sampai Sean merasa lebih baik, sampai Sean mendongak dan punggung itu tegak. Barulah Junggo melangkah perlahan setelah menghela napas.
"Yah, aku ditinggal lagi."
Sean menoleh, mendapati Junggo berdiri di belakangnya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Beruntung ia sudah menghapus air matanya, semoga Junggo tidak menyadarinya yang sempat menangis tadi.
"Jangan begitu, deh. Nanti kalau aku jatuh cinta lagi memangnya mau tanggung jawab?" Sean cemberut. Junggo terkekeh, lantas berjongkok di sisinya sambil mengelus rambutnya lembut. Sean cantik sekali, mengingatkan Junggo akan Sean yang masih kecil dan lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔
FanfictionJunggo, si kapten basket itu sulit sekali didekati. Kerjaannya saja yang gemar tebar pesona, tapi tidak mau bertanggung jawab. Sampai disumpahi bahwa akan ada satu perempuan yang tidak menyukainya. Hei, Junggo itu idola kampus, penggemarnya banyak...