37 | Life Goes On

202 15 1
                                    


Rasanya terlampau sedih, tetapi juga melegakan. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari kepergian seseorang yang setengah diinginkan, setengah tidak?

Barangkali demikian yang Junggo rasakan.

Kemarin-kemarin ia berasa dipeluk rasa bersalah, dicumbu ketakutan serta perasaan sesak yang tak kunjung reda. Kepergian Sean kali ini cukup lama, mungkin tidak akan kembali. Mungkin juga ..., bukan begitu. Sebenarnya, perasaan bersalah itu juga Junggo rasakan pada Namu. Ada celah diantara keduanya yang di mana ia sendiri tidak bisa mengatasi. Namun, kalau ia berusaha mencari alasan untuk memvalidasi seluruh sikapnya pada Sean, jelas hal itu akan sangat basi bahkan sebelum ia mulai untuk menuangkan.

Kelulusan juga sudah di depan mata, semua kakak-kakaknya sedang sibuk menyusun tugas akhir dan siap menyambut wisuda. Junggo hanya ditinggalkan seorang diri. Keira tak bisa sering-sering meladeni keinginannya untuk bertemu sebab Yungi melarang habis-habisan.

Tuh, 'kan, jadi merembet ke mana-mana.

Melangkah pelan, menemukan tumpukan snack yang berjejer di dalam rak, Junggo mengerjap lambat. Seharusnya hari ini ia mengunjungi Jaehyun untuk kongkow. Jadi ia merogoh ponsel dan melihat jam yang menunjuk pukul dua.

"Iya, nanti bertemu saja dulu di kafe. Aku agak telat, ya."

Junggo membawa tungkai menuju kamar, merebahkan diri, dan menatap langit-langit. "Aku malas sebenarnya, tapi ya sudah, daripada di rumah."

"Tidak berkencan?"

"Kak Yungi semakin ketat menjaga Keira, aku mana bisa melawan."

Jaehyun terkekeh dari balik sambungan. "Ya sudah, nasib. Pawangnya Keira galak begitu, kau harus siapkan mental lebih banyak."

Junggo menghela napas, ia memijat pelipisnya pelan dan mendudukkan diri di sofa ruang tengah. Rumahnya sepi, dan ia mendadak malah ikut berkumpul dengan Jaehyun. Namun, di rumah juga tidak jelas mau berbuat apa. Serba salah.

"Aku kadang masih tidak menyangka kalau akhirnya bisa berkencan dengannya." gumam Junggo seraya mengamati langit-langit ruangan. "Soalnya kalau dipikir-pikir, Keira itu awalnya tidak menyukaiku."

"Benci menjadi cinta begitu, ya?"

"Tidak juga, sih. Mungkin karena aku memang tampan kali, ya, Jae."

"Kurang ajar, haha." Mau setampan apa pun Junggo, dimanjakan dan disayang oleh kakak-kakaknya, diidolakan kaum betina satu angkatan, nyatanya Junggo memang laki-laki biasa yang belum mengerti banyak perihal cinta.

Playboy alim, kata orang-orang. Padahal Junggo sendiri belum pernah berkencan dengan siapa pun. Keira yang pertama. Jadi, sepertinya amat sangat wajar kalau Junggo mengalami kebingungan serta perasaan tak nyaman seperti ini.

Panggilan itu terputus setelah beberapa menit, Junggo kini menyibukan dirinya dengan membaca ulang materi presentasi untuk kelas lusa. Ditambah nanti tidak ada Keira sebab kekasihnya itu masih libur dan tidak mengambil mata kuliah yang sama. Nanti Junggo akan coba meminta izin untuk bertemu. Sudah lama tidak mengobrol soalnya.

Setelah menyudahi kegiatannya, Junggo memutuskan untuk tidur sebentar. Akhir-akhir ini tubuhnya selalu merasa lelah, atau memang akal-akalannya sebab terlalu malas untuk keluar rumah. Atau bisa jadi, perasaan bersalah itu membuat kepalanya masih dicekoki pikiran-pikiran tak benar. Padahal ia dan Sean sudah berbaikan, semua sudah kembali seperti seharusnya. Namun, entah mengapa Junggo masih merasa bahwa semua ini tidak benar. Apalagi komunikasi keduanya pun menjadi sedikit renggang. Coba bayangkan, sekalut apa Junggo saat ini.

Menggeleng sejenak, mengatupkan mata lambat dan mulai merebahkan diri, Junggo diam-diam melafalkan maaf dalam dada saat bayang wajah Sean melintas di kepala.

ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang