05 | Arrogate

356 42 4
                                    

----

ᴋᴀʟᴀᴜ saja Junggo diperkenankan untuk meluruhkan egosentris*) pun prestise*) yang melekat, Junggo yakin saat ini ia sudah kehilangan harga dirinya. Sayangnya, semua masih bercokol kuat dalam dirinya. Padahal ia ingin sekali berteriak ketika seseorang yang sempat beradu tatap dengannya dalam sekon yang singkat kini mendadak mampu ia tatap dalam waktu yang lama. Presensi yang terlampau dekat hanya terhalang jarak yang tak terlalu jauh. Sosok itu kini terdiam manis dengan duduk tak jauh dari mejanya. Menatap lurus ke arah depan tanpa menyadari bahwa sosok di sisi kanan tubuhnya--terhalang 3 meja tengah menatapnya lekat.

Binar maniknya terlihat mengkilat dengan alis yang menukik mengamati. Pun ada gurat samar yang terlukis pada figurnya yang kini memainkan pulpen menggunakan jemari. Junggo melepas konsentrasinya dari mata kuliah hari ini dan memilih untuk mengorek kuriositas dari sosok tersebut.

Oke, ini berlebihan. Junggo tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi--hei, dia bahkan tak melirik Junggo sama sekali. Sedangkan seluruh pasang mata di sini sesekali mencuri pandang ke arahnya. Main mata.

Junggo berusaha tetap memposisikan tubuhnya dengan baik, menyembunyikan wajahnya dari balik punggung seseorang tanpa benar-benar menyimak pelajaran. Hal ini berlangsung selama dua jam lamanya. Netra cerah tersebut bahkan masih berbinar tanpa letih. Kuriositas memenuhi isi kepalanya. Sosok tersebut benar-benar tampak tak nyata. Begitu banyak meninggalkan impresif hanya dalam waktu beberapa detik.

Jika diingat-ingat, mereka bahkan hanya bertatapan selama kurang lebih lima detik. Tapi mengapa hal itu memantik sumbu-sumbu berpikirnya, ya? Otaknya yang kadang beku itu kini mencair sendiri.

Mengapa ia tidak pernah bertemu dengan gadis itu? Mengapa hanya dirinya yang terlihat seperti orang bodoh lantaran mengamati terlalu lekat? Mungkin karena Junggo bukanlah sosok yang terlalu peduli. Mungkin juga karena Junggo tak benar-benar ahli dalam menembak tepat sasaran. Tapi ia yakin, sosok tersebut pasti mahasiswa pindahan yang sempat ramai dibicarakan orang-orang.

Mungkin saja.

"Baiklah, kelas hari ini selesai. Sampai bertemu minggu depan di jam yang sama."

Mendengar kalimat tersebut dilesatkan, Junggo langsung mendongak dengan mata rusanya yang melebar kemudian menghela napasnya sedikit kasar. Ha! Aku bahkan melewatkan dua jam pelajaran hanya karena gadis itu.

Tapi alih-alih merutuki diri sendiri sebab lengah, ia justru kembali mengendalikan kepalanya menoleh pada sosok tersebut. Benar-benar gila. Junggo bahkan tak bisa berpaling barang sedetik. Presensi gadis bersurai karamel itu bak lukisan, sepasang netra abu-abunya memikat, kilau yang terpancar begitu mempesona. Baskara membentang di atas kepalanya pun patri disertai serbuk-serbuk aspartam nampak menggoda.

Aduuh, bagaimana ini? Junggo tak pernah begini.

Bersyukurlah Junggo sebab dering ponsel menyentaknya. Lantas ia merogoh benda pipih tersebut dan lekas beranjak sebab tak kuasa lagi menahan gejolak asing dalam dirinya. Ia setengah berlari dengan peluh yang membanjiri.

Isi kepalanya masih dipenuhi banyak pertanyaan, seperti; siapa gadis itu? Mengapa ia tak seperti gadis lain yang memandangnya penuh kagum? Aneh, benar-benar aneh.

***

Senandung gitar dengan lantunan lirik tak jelas memenuhi rooftop siang itu. Bangtan tengah asik menikmati waktu istirahat mereka dengan memetik gitar dan memakan ramen. Meninggalkan setidaknya beberapa bungkus sampah yang berserakan di bawah sofa.

"Junggo ke mana? Tumben sekali terlambat," itu suara Namu. Ia sedikit merendahkan tubuh sebab sedang berusaha mengunyah ramennya.

"Aku sudah menghubunginya, nanti langsung jitak saja kepalanya kalau sudah sampai."

ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang