11 | Nemesis

179 27 3
                                    

----

ᴋᴇᴘɪɴɢᴀɴ ingatan semalam kembali mampir saat Junggo duduk dan menunggu giliran demo basket. Lapangan penuh, sesak. Saat ini ia tengah berada di barisan tempat duduk dan menyaksikan demo voli yang lapangannya bersebelahan dengan lapangan basket. Kepalanya diisi penuh oleh ketenangan yang menyenangkan. Ada satu bagian yang tersasa luar biasa bergemuruh, bibir ranumnya banyak melengkungkan patri dan poin lainnya ia tengah merona saat ini.

Masih membekas dalam bentang memori bagaimana keadaannya dengan Keira kemarin siang saat di kantin. Sungguh, mendebarkan sekali. Tak memungkiri bahwa ia menyukainya, sangat.

Junggo kini telah mengganti pakaiannya, seragam merah kebanggaan dengan angka 97 di balik punggung lebarnya. Ada euforia yang masih menggantung tinggi di hatinya. Tapi ia lekas menggeleng dan mengenyahkannya, memilih mengamati seisi stadion terbuka yang kali ini terasa jauh lebih ramai—meskipun selalu seperti itu. Tentu saja, sebab hampir seluruh penghuni kampus berkumpul di sini. Masing-masing menyimpan keinginan terpendam guna menuntaskan kuriositas mengenai Bangtan. Pun menantikan penampilan perdana Bangtan dan Jaedam, dua tim basket yang dijadikan satu. Sungguh momen yang tak boleh dilewatkan, bukan?

Ada stagnan pada tungkainya saat berdiri dari duduknya. Irisnya terarah lurus pada presensi dengan off shoulder rajut dan midi skirt berpola kotak, rambutnya digerai, ada gerakan teratur pada tungkainya, wajahnya berbalut senyum merekah bersama rona memerah pada kedua bongkah pipinya. Ada penolakan dalam batinnya, berupaya kuat untuk tidak mendekat dan menyongsong tubuh itu, memeluknya erat dan mengatakan, 'aku menyukaimu, ah, tidak. Sepertinya aku mencintaimu'. Ia begitu banyak menyimpan kekaguman pada sosok tersebut. Baginya, Keira adalah perempuan yang luar biasa sekali dan ia menyadari betul bahwa sosok tersebut bukanlah presensi yang mudah ditarik dan direngkuh.

Junggo menggantung prestise *) yang tinggi layaknya bumantara, ia memilih mengubur keinginannya dan melewati sosok tersebut bersama patrian tipis pada labiumnya. Membiarkan sosok tersebut berjalan dan duduk di tempat yang seharusnya ditempati Bangtan. Ah, mungkin ia menunggu Kak Yungi.

Junggo nyaris melupakan fakta bahwa Yungi jelas berada di depannya. Sedikit tak terima. Tapi tak mengapa, bukan perkara besar sebab ia belum berjuang dan menunjukkan dirinya lebih banyak. Ada Keira dalam pandangannya saja sudah menjadi kunci sukses untuk mendorong semangatnya kali ini.

"Siap?" Jaehyun memulai. Matanya melirik Junggo yang berada tak jauh darinya. Kemudian Junggo mengangguk sambil mengarahkan semua teman-temannya untuk mulai bergerak.

Teriakan melingkupi atmosfer. Bak berada dalam arena bermain, mereka menampilkan demo dengan berbagai macam gaya servis dan formasi dengan riang, sama sekali tak menunjukkan siapa yang mendominasi sebab ini bukan Jaedam atau Bangtan. Mereka hanyalah anak-anak yang asik bermain dan banyak tertawa.

Suara-suara memicu semangat, dengan pergerakan halus yang membuat banyak pasang mata berdecak kagum. Saling bergiliran dan menunjukan diri sendiri dengan cara yang adil. Penampilan mereka sudah habis acak-acakan, peluh membanjiri, surai mengibas mengikuti desau angin yang turut mengelilingi atmosfer.

"Junggo! Junggo!"

"Jaehyun!"

"Jimmy, aaahhh!"

"Taekyung! Di sini!"

"Junggo!"

Nama mereka berulang kali diserukan. Tetapi Junggo yang paling mendominasi. Tidak tahu kenapa, peletnya kuat sekali. Belum lagi wajahnya yang berkeringat dengan surai legamnya, penggemar junggo benar-benar diberkati matanya. Tak peduli sudah ditolak ratusan kali oleh manusia kulkas kedua setelah Yungi ini, mereka tetap tak menyerah. Mentalnya kuat sekali seperti baja.

ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang