Semenjak kembali tinggal di kediaman Junggo, Sean selalu merasa tak nyaman dan gelisah. Perasaannya selalu sesak, ingatan tentang kejadian ia memutuskan pergi masih melekat dalam kepalanya. Tentang Junggo yang membentaknya, Junggo yang mengatakan banyak hal menyakitkan untuknya, serta tentang Keira.
Sean sudah berusaha untuk ikhlas, sudah meyakinkan diri untuk melepas. Namun, rasanya tetaplah sakit dan sulit. Afeksinya pada Junggo masih melekat meskipun hatinya sudah dihancurkan begitu hebat. Salahkan Junggo yang membawa perasaan Sean kabur dari tempat, sehingga ia merasakan sakitnya berharap seorang diri.
Sudah dua hari, dan Sean masih berusaha memantapkan hati. Selama waktu itu juga ia bersikap seperti biasa di hadapan bunda, seolah kejadian lalu tidak pernah terjadi. Seolah Junggo tidak pernah menyakitinya. Apalagi hal yang jauh lebih sakit dari berpura-pura terlihat baik-baik saja?
Sean memang bodoh, untuk urusan hati saja ia masih remedial. Namun, ia sama sekali tidak bercanda perihal perasaan. Jika sudah jatuh, ya, ia akan jatuh begitu dalam sehingga sulit untuk bangkit dan merangkak naik. Namun, beruntungnya di masa-masa sulit itu, ia tak berjuang seorang diri. Namu ada di sisinya, kerap menghubunginya dan menanyakan kabarnya, selalu memberikan kesempatan untuknya agar ia mau kembali, menawarkan hatinya untuk tempat ia pulang.
Terkadang Sean merasa bahwa ia jahat, ia mengabaikan seluruh afeksi yang berusaha Namu beri untuknya, dan masih melihatnya sebelah mata.
"Kau hanya akan bermalas-malasan di rumah?"
Sean mengerjap pelan, suhu udara begitu dingin dan jam di dinding masih menunjukkan angka delapan. Namun, pemuda di balik sambungan sudah menghubunginya dengan dalih sebagai alarm otomatis untuknya. Betapa menyebalkan hal itu.
"Eum."
"Kenapa begitu? Hari ini cerah, padahal. Tidak mau keluar?"
Sean menggeleng. Ia menarik selimut hingga sebatas leher. "Aku malas."
"Kau sudah berbaikan dengan Junggo?"
Pertanyaan itu membuat Sean membuka matanya, ia menatap lurus ke arah dinding di depannya lalu bernapas pelan. Sean masih kesal dan tidak mau berbicara dengan Junggo. Padahal dua hari lalu sudah berbaikan. Sudah dibilang kalau Sean ini masih belum bisa menerima.
"Sudah baikan, kok. Cuma ya ..., begitu."
Ada hela napas yang terdengar dari balik sambungan. Sean bisa membayangkan wajah Namu, pasti pemuda itu tengah bergelung dengan isi pikirannya sendiri. "Berat, ya?"
Sean menggigit bibir bawahnya. "Eum."
"Kalau kau masih tidak nyaman di sana, kau bisa ke rumahku. Pintunya selalu terbuka untukmu." Lagi, tawaran yang sama. Namu selalu mengulurkan bantuan untuk Sean, lebih dulu mengerti akan perasaan gadis itu yang bahkan Sean saja tidak memahami keinginan hatinya.
"Jangan takut, ya. Aku ada di sini, An." Ada jeda di sana sebelum Namu kembali melanjutkan, "Jangan menangis lagi. Bilang-bilang kalau mau menangis, ya. Nanti aku temani."
Tiap kali Namu memberikan dukungan dengan kalimat manis, Sean selalu ingin menangis. Bagaimana bisa pemuda sehebat Namu mau bertahan menyukai seorang perempuan labil dan tidak berguna seperti dirinya? Antara bodoh dan kelewat sayang itu memang tipis perbedaannya.
"Kau terlalu baik untuk orang seperti diriku, Kak." Sean meremat selimut. Sudut matanya berair, entah karena udara dingin atau karena menangisi dirinya sendiri.
"Ini adalah cara sederhana dalam mencintaimu, An. Aku melakukan ini atas keinginanku sendiri. Jadi, jangan merasa tak enak hati, ya? Justru aku yang sedih kalau kau menolak semua yang aku lakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔
Fiksi PenggemarJunggo, si kapten basket itu sulit sekali didekati. Kerjaannya saja yang gemar tebar pesona, tapi tidak mau bertanggung jawab. Sampai disumpahi bahwa akan ada satu perempuan yang tidak menyukainya. Hei, Junggo itu idola kampus, penggemarnya banyak...