Junggo membawa mobilnya dengan kecepatan sedang menuju kediaman Namu. Kakaknya itu menghubunginya secara mendadak lalu mengatakan bahwa Sean menangis dan ingin menemuinya. Junggo yang baru saja bangun tidur langsung bergegas, bahkan ia belum memakan sarapannya.
Mobil hitamnya terparkir di basement apartemen Namu. Pemuda itu memasuki lift dengan gesit, menekan angka lantai Namu, lalu bergegas keluar saat sudah sampai tempat tujuan. Pemuda itu masuk setelah berhasil menekan pasword dan langsung menemukan Sean yang tengah menangis dalam pelukan Namu.
"An ...."
Sean mendongak, menjauh dari sisi Namu. Tahu apa yang Junggo lihat? Wajah yang memerah, bibir bengkak, kedua mata yang juga bengkak disertai kantung mata yang menghitam. Surai legamnya mengarah pada seluruh mata angin, ada ruam pada sekitaran leher dan selangka.
"An, kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Junggo mendekat, mengamati lebih seksama raut sang gadis. Ia panik sekali saat tahu Sean dalam keadaan kacau begini.
"Kalian bicara saja, aku akan ke dapur sebentar."
Setelah kepergian Namu, Junggo langsung membawa Sean ke dalam pelukannya. Gadis itu sudah tidak menangis, hanya saja isakannya masih terdengar jelas. Ia mengusap rambut Sean pelan dan lembut disertai kedua mata yang memejam. Junggo lega, tetapi perasaan bersalah itu masih ada.
"Maafkan aku, An. Karena aku kau jadi begini." Sean menggeleng, gadis itu tak menjawab apa pun, bahkan tidak membalas pelukannya.
"An, aku mohon jangan tinggalkan aku ...," lirihnya.
Dengan suara pelan, Sean membalas, "Kau yang meninggalkanku."
Junggo langsung melepas pelukannya lalu menangkup wajah Sean. Sean bisa melihat kedua mata Junggo berdenyar, air mata nyaris tumpah di sana. Junggo merasa bersalah setelah mendengar kabar bahwa Sean hampir saja menjadi korban pelecehan di sebuah klub malam. Sudah disentuh-sentuh meskipun Sean menangis dan tak memiliki tenaga untuk melawan.
"An, maafkan aku. Tapi aku tak akan pernah meninggalkanmu, kau tahu itu."
"Kau melakukannya." Ia menelan saliva cukup sulit. "Kau memilih Kak Keira daripada aku."
Hening di sana. Junggo menghela napas, membawa kedua tangan Sean dibalut tangannya yang besar. "An, aku ...."
"Jangan berpikir seolah kau yang paling menderita, Junggokie. Rasa bersalahmu tidak berarti apa-apa."
Kalimat Sean langsung membuat Junggo tertampar. Iya juga. Semua juga percuma, tetap tak akan menghilangkan fakta bahwa ia sudah menyakiti Sean.
"Kamu boleh pukul aku, An. Yang keras, sampai babak belur juga tidak apa-apa, An." Karena Junggo pernah berkata, siapa pun yang sudah menyakiti Sean harus dihukum. Kalimat telak yang sudah Junggo ucapkan sejak Sean masih berusia dua belas.
"Tidak usah." Sean menarik tangannya dari genggaman Junggo. "Apa Kak Keira tahu Kakak datang kesini?"
Jawabannya adalah tidak. Junggo tidak akan mengatakan hal ini pada Keira.
Tahu kalau Junggo hanya diam, Sean berkata, "Sudah kuduga. Kak Junggo ini orang yang serakah. Kalau suka sama satu perempuan, ya perjuangkan. Bukannya justru meninggalkan yang satu demi yang satunya."
Sean mengubah posisi duduknya sehingga tidak berhadapan lagi dengan Junggo. "Kalau mau berhubungan dengan perempuan lain, at least leave your partner first, atau dibicarakan dulu baik-baik. I'm done with you or i don't love you anymore, begitu. Biar tidak ada yang terluka. Kasihan."
"Aku juga sedang melakukannya sekarang, An." Junggo menghela napas.
Sean menunggu takut-takut kalimat Junggo selanjutnya. Apa yang akan Junggo katakan? Apa akan menyakitinya lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
ʏᴏᴜʀ ᴇʏᴇs ᴛᴇʟʟ ✔
Fiksi PenggemarJunggo, si kapten basket itu sulit sekali didekati. Kerjaannya saja yang gemar tebar pesona, tapi tidak mau bertanggung jawab. Sampai disumpahi bahwa akan ada satu perempuan yang tidak menyukainya. Hei, Junggo itu idola kampus, penggemarnya banyak...