01. Kehilangan

162 12 8
                                    

"Kehilangan yang membuat diri saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis yang begitu menyesakkan dada. Tetapi, apa pantas saya terus menangis hingga mata saya terasa perih?"
.
.
.

Saat kehilangan seseorang yang paling kita sayang itu begitu menyakitkan. Apalagi ketika kita lama bersama, bercanda, tertawa, bahkan itu kenangan yang tidak bisa dilupakan. Hingga terlalu melekat pada ingatan.

Walaupun katanya suatu saat mungkin ada seorang pengganti. Namun, tak akan sama pada apa yang pernah kita punya.

Di ruangan tertutup tempat remaja itu berkelana di balik jendela yang berembun. Suara deru air di luar mendukung kesedihannya. Seketika ada harumnya tanah yang diguyur air hujan setelah berhari-hari terkena terik matahari. Keluar aroma dedaunan yang kering kerontang karena berhari-hari tidak diberi minum air.

Kerudung putih itu menutupi seluruh rambutnya. Buku di genggamannya habis kena tetesan air mata yang sejak tadi tidak mau surut. Remaja itu kini sedang merasakan kehilangan pada seseorang yang pernah menjadi pahlawan dalam kehidupannya. Bukan hanya sekadar pernah, tetapi akan tetap disebut pahlawan sampai kapanpun.

Dia seperti tidak punya tujuan hidup, ekspresi wajahnya yang dingin. Melamun yang menjadi kebiasaannya saat hujan datang, dan tidak pernah terlewat meneteskan air mata. Serindu itu dia pada lelaki yang dicintainya.

"Haruskah saya menyalahkan takdir bahwa saya tidak bisa selalu bersamanya? Apakah itu terlalu egois? Mungkin dia juga akan sedih melihat keegoisan ini." sesekali berbicara pada dirinya sendiri.

Tentu takdir ada sebagian yang tidak bisa kita hindari terlebih kita salahkan. Kehilangan yang terjadi pasti akan ada hikmah walau tidak kita sadari. Percayalah pada Pemilik segalanya bahwa semua yang datang tentu yang terbaik.

Masa lalu itu mengubah segalanya. Pribadi yang dulu ceria kini menjadi lebih banyak diam setelah kejadian itu. Akankah semuanya terus berubah setelah kejadian itu? Dia hanya bisa menundukkan kepala dan menangis dalam diam. Ia selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Semua orang pasti pernah merasa kehilangan ketika kehadiran seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya pergi bak ditelan bumi. Tapi, tidak semua orang juga rela mengikhlaskan kepergiannya.

Bahkan keluar rumah pun jarang, dia hanya berdiam di dalam rumah merenungi nasibnya sesekali menangis tak henti-henti.

Hingga suara lirih dari mulutnya sering kali terdengar.

"Padahal saya belum punya apapun yang bisa dibanggakan. Tapi apa itu cukup membalas semua baiknya pada saya?" lagi, dia menangis menyesali hidupnya. Seperti belum memberi penghargaan yang membanggakan pada seorang yang tersayang.

Dari balik pintu yang terbuka setengah wanita paruh baya mengintip dengan ratapan sendu. Ia tahu kesedihan anaknya amat berlebihan, tetapi ia juga mengerti. Karena, orang tersebut begitu istimewa bagi anaknya. Kalau bisa dipertemukan kembali, Sarah selaku Ibunya pasti akan mencari sampai ketemu. Ke ujung dunia sekalipun. Atau ke benua manapun akan Sarah lakukan. Ibaratnya.

Apalah arti itu semua jika takdir berubah lain. Harus kemana ia mencari? Rasanya sampai kapanpun tidak akan pernah bertemu di dunia ini. Tidak akan ada yang sama sekalipun tampilannya itu mirip.

Sarah terlalu sering meyakini anaknya kalau suatu saat nanti dipertemukan lagi walau dalam tempat yang berbeda. Tiada hasil, anaknya begitu merasa kehilangan. Sedikit keras kepala dan terlalu dalam memendam apapun seorang diri.

Akhirnya Sarah memutuskan untuk masuk ke dalam kamar anaknya.

"Sahi, mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa kamu nggak tau bahwa kesedihanmu terlalu berlebihan?" Sarah bertanya dengan penuh kehati-hatian. Menahan kenjengkelan agar Sahi bisa mencerna ucapannya.

Bukannya menjawab Sahi malah meneteskan air matanya lebih deras. Ia bahkan tahu kalau perbuatannya saat ini tidak akan pernah mengubah apa yang terjadi.

"Nggak akan pernah bisa, Bu. Sosoknya yang selalu membuat Sahi menjadi wanita kuat atas perjuangannya. Dan sekarang dia nggak ada. Sahi merasa kehilangan." Sahi membuka suara, menjawab pertanyaan Sarah dengan suara bergetar. Begitu juga isakan yang masih terdengar.

Sarah hanya bisa menghela nafas jika sudah begini. Ia hanya bisa mendo'akan anaknya untuk bisa mengikhlaskan apa yang menimpanya.

Sudah berkali-kali Sarah menjadi motivator dan juga segala wejangan untuk Sahi dia berikan. Tentang keikhlasan pun dia jelaskan dari abjad awal sampai akhir. Belum juga bisa masuk dalam lubuk hati Sahi. Anaknya ini memang dominan keras kepala. Kehilangan seseorang maka tidak mudah baginya untuk melupakan dan mengikhlaskan. Semua itu butuh waktu yang cukup lama.

Makan yang sering terlewat. Di saat mau pun harus dipaksa mengerahkan tenaga dan ocehan dari mulut Sarah tentunya. Sahi terus mengedepankan ego untuk larut dalam penyesalan. Bahkan minum pun tidak sampai satu liter perhari. Apalagi keluar dari rumah untuk bermain sesama teman sebayanya. Kecuali, hanya berangkat ke sekolah. Setelah itu mengurung diri di dalam kamar seharian.

"Lebih baik kamu makan dulu, perut kamu kosong belum diisi dari pagi." Sarah mencoba membujuk Sahi untuk makan. Diberinya Sahi sepiring nasi beserta lauk.

"Nggak, Bu." jawabnya singkat namun penuh penekanan.

"Kamu harus makan, Sahi! Kalau nggak makan nanti kamu sakit. Apa kamu mau terus-terusan membuat dia sedih kalau kamu seperti ini terus?" ucapan Sarah terdengar membentak. Menatap Sahi penuh emosi, kesabarannya mulai diuji karena melihat anak gadisnya terus terpuruk.

Sahi terkejut mendengar Ibunya membentak. Ia malah semakin diam, tidak lagi mengelak. Pada akhirnya mau makan untuk mengisi perutnya yang belum terisi makanan apapun sejak pagi. Melihat itu Ibunya menghembuskan nafas lega juga tersenyum.

"Ibu nggak bermaksud membentak, Ibu cuman nggak mau kamu sakit, sayang." ucap Sarah pelan. Dibalas anggukan samar oleh anaknya.

Kemudian, Sahi memeluk Sarah dengan erat. Melampiaskan resahnya pada sang Ibu. Pelukan yang katanya menenangkan jiwa anaknya. Usapannya bahkan menjauhkan seluruh bebannya. Dan itu faktanya.

"Waktunya kamu istirahat. Jangan nangis terus, ya." ucap Sarah sambil mengelus kepala Sahi.

Sarah beranjak meninggalkan Sahi yang masih dalam posisi menghadap jendela. Saat di pintu hendak menutupnya Sarah bergumam, "mau sampai kapan kamu seperti ini, Sahi?"

Bersamaan itu pintu kembali tertutup rapat. Menyisakan Sahi yang kembali termenung seperti tadi hanya angin lewat yang tidak sama sekali membawa perubahan. Dan lihat saja, Sahi tetap meratapi kesedihannya berlarut-larut.

• • •

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang