Seolah seperti mimpi. Pada akhirnya adalah nyata. Hal yang tak pernah terduga.
.
.
.Langkahnya begitu tak bersemangat saat memasuki kost-an. Tidak ada yang menarik. Tidak ada keramaian. Hanya ada kesunyian saat melangkah ke dalamnya. Kepalanya ia tundukkan. Hari ini memang benar-benar lelah. Mencari seseorang yang kini telah menempati ruang hatinya. Helaan nafas jelas terdengar.
Akan tetapi, tidak masalah. Selagi itu bersangkutan dengan pujaan hati. Apapun akan ia lakukan.
"Darimana aja, Wahyu?" langkahnya terhenti saat mendengar suara berat begitu jelas masuk ke telinga.
Saat mendongak, mata Wahyu membulat melihat siapa yang datang. Dua orang yang sangat berharga dalam hidup Wahyu. Yang sangat Wahyu rindukan.
"Papa? Mama?" lirih Wahyu, lalu mengucek matanya agar lebih memperjelas apa yang ia lihat. Ini seperti mimpi. Tolong, jangan bangunkan Wahyu jika ini mimpi. Ini adalah mimpi yang amat indah.
"Apa ini mimpi?" tanya Wahyu memastikan. Tidak ada yang menjawab. Hanya ada kekehan yang terdengar.
Wahyu mengejapkan matanya lucu. Lalu berlari menghampiri keduanya. Dan memeluk begitu erat. Yakin, bahwa ini nyata.
"Wahyu kangen sama Mama. Jangan lupain Wahyu, Ma. Please, Wahyu butuh Mama." gumam Wahyu menangis.
"Maafin Mama, sayang. Mama udah lupain kamu. Mulai sekarang Mama nggak akan lupain Wahyu lagi." ucapnya menahan tangis, mengelus rambut Wahyu.
Papa Wahyu pun tak kalah eratnya memeluk Wahyu. Dan berbisik di telinga Wahyu. "Maafin Papa. Selama ini Papa nggak perhatian sama kamu. Papa minta maaf karena lebih peduli ke istri Papa."
Tak dapat Wahyu bendung lagi tangisnya, pecah. Wildan begitu menyesal telah menelantarkan Wahyu. Anak semata wayangnya. Bahkan dengan istrinya yang sekarang ia belum juga dikaruniai anak. Begitupun dengan Sheila, Mama Wahyu.
Hanya Wahyu anak mereka berdua. Mereka mengaku salah. Setelah mendapat kabar dari Naufal bahwa Wahyu pernah dirawat karena sakit, Wildan dan Sheila sadar. Ia tidak memperhatikan keadaan Wahyu. Kesehatan Wahyu pun dibiarkan begitu saja.
"Wahyu senang bisa dapat pelukan ini lagi. Udah berapa tahun Wahyu nggak dapat pelukan? Wahyu kangen pelukan Mama sama Papa." lirih Wahyu membuat Wildan dan Sheila semakin sesak dan menangis sejadi-jadinya.
"Kamu mau ikut sama siapa, sayang? Mama atau Papa? Sekarang Wahyu bebas mau pilih tinggal sama siapa aja. Kita bolehin Wahyu tinggal sama-sama." ucap Sheila tersenyum haru.
Rasa ingin tinggal diantara salah satunya sudah tidak ada dalam benak Wahyu. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, Wahyu ingin tinggal bertiga. Apa boleh dirinya bersikap begitu?
"Wahyu nggak mau pilih salah satu." jawab Wahyu menunduk.
Sheila mengerutkan dahinya. "Kenapa, sayang?
"Wahyu mau tinggal di sini aja. Nggak apa-apa." jawab Wahyu mencoba tersenyum. Dalam hatinya ia rapuh. Benar-benar rapuh. Hampir setiap malam Wahyu merindukan Mama dan Papanya.
"Mama mohon sama Wahyu. Tinggal sama Mama, ya? Om Tio udah nggak tinggal sama Mama. Wahyu nggak akan dimarahin lagi sama Om Tio." mohon Sheila. Wahyu menatap Sheila bingung. Begitupun dengan Wildan. Apa maksudnya?
"Maksud Mama apa?"
"Sebentar lagi Mama sama Om Tio akan pisah. Om Tio khianati Mama." jawab Sheila pelan. Sontak membuat Wildan dan Wahyu kaget.
"Om Tio emang jahat." Wahyu mengepalkan tangannya.
"Tapi, Wahyu minta maaf sama Mama dan Papa. Wahyu akan tetap tinggal di sini. Wahyu udah terbiasa di sini. Tolong, jangan larang Wahyu." lanjutnya penuh permohonan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
EspiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...