19. Pengajian

15 2 0
                                    

Rugi, jika hidup tidak dikelilingi orang-orang sholeh dan sholehah. Berteman dengan orang yang dapat menolong kita dari kelalaian dunia adalah hal yang perlu kita cari. Berkumpul dalam satu tujuan untuk mendapatkan ilmu yang bisa menolong kita di akhirat kelak.
.
.
.

Tempat dimana semua orang dapat merasakan ketenangan. Mendengar setiap kata demi kata yang mengingatkan kita pada kebaikan. Duduk di tempatnya saja sudah mendatangkan pahala. Jika kita ikhlas dan tulus untuk mengharap ridha dari-Nya.

Dipenuhi berbagai kalangan. Dari remaja hingga lanjut usia. Masa remaja mungkin sebagian ada yang dihabiskan dengan bersenang-senang dan berkumpul bersama teman. Namun, banyak juga para remaja yang lebih memilih ke Majelis ilmu untuk mendapatkan banyak pelajaran.

Menghabiskan waktu untuk kebaikan di akhir zaman ini harus diutamakan. Banyak dari mereka yang lalai akan perintah Allah. Dan lebih mengedepankan kehidupan dunia yang nyatanya hanya sementara.

Gadis yang duduk paling depan merasa tertampar dengan perkataan Ustadzah yang sedang membahas tentang 'Masalah yang datang dari Allah harus kita jalani dengan ikhlas dan jangan terlalu larut dalam kesedihan'.

Ini benar-benar seperti menyadarkan dirinya agar tidak merenung meratapi kesedihan terus-menerus. Ada baiknya kita belajar mengikhlaskan apa yang telah diambil kembali oleh Allah jika memang sudah waktunya.

Astaghfirullah. Selama ini hamba salah, Yaa Allah. Ampuni hamba, Yaa Allah. Selama ini hamba terlalu larut dalam kesedihan. Bahkan hamba seperti tidak rela Engkau mengambilnya dari hamba. Batinnya menyesal. Tanpa sadar setitik air mata jatuh begitu saja.

Selalu ada hikmah dalam setiap ujian yang datang. Entah itu untuk menguatkan kita atau membuat kita kembali kepada Allah. Mungkin dengan cara seperti itu, kita bisa mendekatkan diri lagi kepada Allah.

"Sah, kamu kenapa?" tanya gadis di sampingnya harap cemas.

"Aku nggak apa-apa. Cuma sedikit tertampar dengan perkataan Ustadzah." jawabnya tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Kita emang harus sering-sering berkunjung ke Majelis untuk mendapat ilmu, Sah. Semakin sering kita datang maka semakin banyak hal yang dapat kita tahu." Sahi terdiam sesaat. Perkataan temannya benar.

Sahi menghembuskan nafas pelan. "Kamu benar, Al. Aku terkadang suka lalai dengan perintah Allah. Mempertahankan istiqomah sangat-sangat sulit."

"Sebenarnya akan terasa mudah kalau kita menjalaninya dengan ikhlas. Ditambah sering berkumpul untuk mendengar kajian seperti ini. In syaa Allah pengetahuan kita bertambah."

Namanya adalah Alya. Teman Sahi yang sering ikut kajian. Sahi banyak belajar dari Alya. Mungkin bisa dibilang Alya lebih baik daripada dirinya.

"Aku masih banyak belajar, Al." tunduk Sahi, perasaan bersalah atas dosanya kian membesar. Sahi selalu merasa dirinya banyak sekali kesalahan. Setiap detik setiap menit mungkin ada saja dosa yang tidak ia sadari.

Alya mengusap bahu Sahi dengan lembut. Alya rasa ia juga masih banyak belajar. Mungkin orang lain menganggap Alya sempurna. Namun, siapa sangka Alya selalu merasa dirinya belum baik. Alya merasa dirinya masih dalam proses belajar untuk menjadi lebih baik.

"Sah, di dunia ini nggak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Aku juga masih banyak belajar." Alya mencoba menenangkan Sahi.

"Kita saling mengingatkan untuk kebaikan." lanjutnya.

Sahi mengangguk pelan. "Makasih, ya. Karena telah menjadi sahabatku. Semoga kelak kita bisa bertemu di surga-Nya."

"Aamiin." balas Alya. Kemudian mengusap kedua telapak tangannya ke wajah. Lalu tersenyum menatap Sahi.

Bukan hanya di dunia saja mereka ingin bersahabat. Kelak di akhirat mereka juga ingin dipertemukan kembali. Di dalam surga yang luar biasa indahnya.

"Kita sama-sama berusaha untuk berada di jalan kebaikan. Selalu istiqomah di tengah orang yang lalai. Jangan mudah tergoda dengan nikmatnya kehidupan dunia yang malah membuat kita masuk ke dalam jurang kesesatan." ucap Alya dengan suara lembutnya.

"Pasti. Kita harus semangat." Sahi mengepalkan tangannya di udara. Alya pun melakukan hal yang sama.

〰️〰️〰️

Hari semakin siang, Sahi dan Alya sedang dalam perjalanan pulang. Untuk arah, mereka berdua memang searah. Walau nanti akan berpisah di pertigaan jalan. Sahi merasa lebih tenang setelah ikut pengajian tadi. Hatinya yang gundah menjadi lebih lega.

Ada pelajaran yang dapat Sahi ambil dari ceramah Ustadzah tadi.

"Sah, sebenarnya aku mau curhat sama kamu." Alya mulai membuka pembicaraan.

"Curhat aja, Al. Siapa tahu aku bisa bantu memberikan solusi." balas Sahi tersenyum. Dengan senyuman kita bisa memberikan energi positif untuk diri sendiri juga orang lain.

"Kemarin ada seorang cowok yang datang menemui Bunda. Mungkin untuk yang kesekian kalinya."

"Ada maksud apa?" tanya Sahi. Hatinya tergerak ingin tahu.

"Dia mau kenal aku lebih jauh. Katanya dia nggak mau pacaran. Kalau bisa langsung nikah." lirih Alya.

"Kamu nggak suka?" Sahi melihat raut wajah Alya yang lesu.

"Aku bingung, Sah. Nikah muda nggak pernah terpikir dalam benakku."

"Kita berhenti di kursi sana dulu, ya. Biar bicaranya lebih enak." Sahi menunjuk kursi yang tak jauh dari tempatnya berada. Mengajak Alya agar lebih nyaman untuk berbincang.

Alya mengangguk dan mengikuti langkah Sahi.

"Memang usianya berapa?" Sahi mulai larut dalam permasalahan Alya.

"Usianya dua puluh dua tahun, dia masih kuliah. Dia juga kerja di salah satu bengkel,"

"Dia mau nunggu aku lulus sekolah. Dia juga cerita ke Bunda, nggak akan larang-larang aku untuk kuliah atau kerja. Kalau nanti dia jadi suami aku." lanjut Alya memelankan suaranya.

Sahi bingung harus merespons seperti apa. Pasalnya ia juga tidak ada pengalaman soal ini. Tunggu, mengingat cerita Alya. Sahi jadi mengingat ajakan Wahyu. Kenapa jadi beralih ke arah sana?

Apakah Wahyu benar-benar serius dengannya? Sahi menepis pemikiran tentang Wahyu. Lebih baik lupakan terlebih dahulu.

"Menurut kamu gimana, Sah?" tanya Alya meminta pendapat Sahi.

"Agamanya gimana?" tanya balik Sahi.

"Soal agama dia udah paham betul. Dia pernah jadi anak santri. Dan sekarang kuliah juga ambil jurusan agama. Dia orangnya sibuk banget, Sah. Aku dengar dari Bunda kalau malam dia ngajar ngaji di Masjid. Dari siang sampai sore dia kerja. Terkadang paginya juga kuliah." jelas Alya membuat Sahi terkejut. Orang yang mengatakan serius kepada Alya adalah orang yang menurutnya baik. Dari segi ilmu agama maupun pengetahuan umum.

"Lebih baik kamu sholat istikharah dulu. Meminta petunjuk pada Allah. Kalau memang jodoh, pasti akan dimudahkan." Sahi akhirnya memberi saran untuk Alya meminta petunjuk kepada Allah. Karena Sahi bukan siapa-siapa. Dia hanyalah manusia biasa yang juga bergantung pada Sang Maha Pencipta.

Karena memang Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Rencana Allah lebih indah dari apa yang kita inginkan.

Aku juga sedang berada diposisi yang sama seperti kamu, Al. Lanjut Sahi dalam hati. Ia belum siap untuk menceritakan keganjalan dihatinya pada orang lain. Termasuk temannya sendiri.

"Iya, Sah. Setelah itu aku akan pikirkan baik-baik." jawab Alya tersenyum lebar.

"Tapi, aku kagum sama dia. Walaupun baru beberapa kali dia menemui Bunda. Orangnya pekerja keras. Kata Bunda, kedua orang tuanya udah nggak ada. Dia hidup seorang diri. Dia bisa menjalani itu semua tanpa kehadiran keluarga." tanpa sadar Alya senyum-senyum sendiri. Sahi langsung menyadarkan Alya.

"Istighfar, Al."

"Astaghfirullahal'adziim." Alya langsung mengelus dada membuat Sahi terkikik geli melihat wajah Alya yang panik dengan pipi memerah.

〰️〰️〰️

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang