Dia bukan tempatmu. Sejauh apapun kau berharap, tak akan pernah bisa mendapat cintanya.
.
.
.Syawal sejak tadi mendengar pembicaraan Wahyu dan Sahi. Memperhatikan dengan jelas Wahyu berbicara serius pada Sahi. Terasa menyesakkan dada kala kalimat itu terucap lancar dari mulut lelaki yang bersama perempuan idamannya.
Ah, mungkin memang Sahi bukanlah untuknya. Syawal berusaha untuk ikhlas jika memang Sahi menerima Wahyu.
Syawal berjalan gontai menuju kantin. Sepertinya ia butuh sebotol air minum untuk meredakan hawa panas ditenggorokannya.
Di kantin tidak ada murid lain. Hanya ada beberapa penjual yang masih setia duduk menunggu pembeli datang.
"Lo kenapa murung begitu?" tiba-tiba Syawal dikagetkan oleh kedatangan Agi.
Agi langsung duduk dan menengguk minuman Syawal. "Ada masalah?" tanya Agi lagi.
"Saya nggak apa-apa, Gi." jawab Syawal enggan memberitahu masalahnya.
Ini yang paling tidak disukai Agi. Syawal sulit berbagi cerita, mengungkap keadaan hatinya. Padahal Agi adalah sahabatnya sendiri.
Agi menghembuskan nafas kasar. "Tolong, Wal. Lo kalau ada apa-apa cerita sama gue. Kita ini sahabat, siapa tahu gue bisa dengar curhatan atau kasih saran yang baik buat lo." Syawal menatap Agi yang menampilkan raut khawatir. Baru menyadari, bahwa ternyata ia terlalu tertutup pada sahabatnya.
"Maaf, Gi. Saya bingung."
Agi menatap Syawal penasaran. "Bingung kenapa?"
"Karena Sahi?" Syawal melotot tak percaya. Darimana Agi tahu kalau dirinya sedang memikirkan Sahi?
"Benar kan?" tebak Agi terkekeh. Ia sudah bisa membaca raut wajah Syawal. Sekadar menebak. Dan pada akhirnya jatuh tepat sasaran.
Syawal mengangguk mengiyakan. "Mungkin dia bukan buat saya, Gi."
"Kalau jodoh pasti balik lagi ke lo. Percaya sama Allah, Wal. Rencana Allah luar biasa melebihi ekspektasi manusia." lagi-lagi Syawal dibuat tak percaya. Agi yang dulu kini telah berubah seiring waktu bergerak.
Bibir Syawal tampak tersenyum. Syawal terharu. "Makasih, Gi."
"Santai, Wal. Gue sahabat lo." kekeh Agi.
"Saya mau pindah ke pesantren, Gi." mata Agi membulat kemudian.
"Kenapa mendadak?"
"Abi pengin saya belajar di sana. Sekalian membantu mengurus anak-anak santri baru." jawab Syawal.
"Pesantren milik Kakek lo?" tanya Agi memastikan.
Syawal mengangguk lalu menengguk minumannya.
"Kira-kira berapa tahun?" suara Agi mulai terdengar parau saat tahu Syawal akan pergi. Baru saja dirinya ingin belajar lebih jauh bersama Syawal. Namun, Syawal akan pergi meninggalkannya.
"Kayaknya saya kuliah di sana juga. Mungkin saya juga akan menetap cukup lama." jawab Syawal menimang-nimang.
"Jangan lupain gue, ya. Lo teman paling baik yang pernah gue kenal selama gue sekolah." pinta Agi, matanya mulai berkaca-kaca.
Saya tersenyum. "Saya akan selalu mengingat kamu, Gi. Sahabat terbaik,"
"Terus belajar, ya. Selalu istiqomah dan jangan pernah tinggalkan sholat." Syawal membubuhkan nasihat. Seraya menepuk bahu Agi.
"Gue akan berusaha." yakin Agi.
Tiba-tiba Syawal bangkit dari kursi. "Saya harus pergi." tampak tergesa-gesa. Ia baru ingat sore ini ada pengajian di dekat rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
EspiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...