Perkataan yang menyakitkan. Kembali membuatnya terpuruk. Kesedihan yang mendatangkan kekhawatiran orang sekitar.
.
.
.Rumah berlapis atap kumuh. Terlihat kecil dan sempit. Posisinya pun terpojok dan jauh dari rumah-rumah warga.
Satu kata untuk rumah itu.
Miris.
Jika dibandingkan dengan rumah lama, tentu masih bisa dikatakan lebih layak. Dan yakin pemikiran orang lain juga pasti sama jika melihat rumahnya.
Namun, bersyukur tidak akan membedakan apa yang sebelumnya dan sesudahnya terjadi. Jika dijalani dengan rasa syukur pasti akan tetap sama. Tanpa merasa rugi sama sekali.
Mulai dari hal-hal kecil. Mendapat rezeki sedikitpun kiranya kita harus bersyukur. Diberi kesehatan pun harus bersyukur. Nikmat Allah itu tiada bandingannya. Kita saja yang kurang menyadari.
"Ayo, masuk." Meta mempersilahkan mereka untuk masuk. Hingga menyadarkan mereka yang sedang meneliti rumah ini.
"Oh iya, Bu." sadar Syawal akhirnya.
"Maaf ya, Ibu belum sempat rapi-rapi. Jadi, masih berantakan." ucap Meta tidak enak hati. Syawal tersenyum maklum.
"Nggak apa-apa, Bu. Kita paham kok."
"Kalian duduk dulu, Ibu mau ambil air minum."
"Apa kalian mau makan? Sekalian nanti Ibu siapkan." Meta menawarkan.
"Nggak usah, Bu." jawab Syawal halus.
Lalu Meta menatap Agi, Farid, dan Wahyu. Menaikkan kedua alisnya. Menanyakan apakah mereka mau makan atau tidak. Dan jawabannya pun sama, mereka hanya menggelengkan kepala.
"Yaudah, kalau gitu. Sebentar, ya."
Setelah kepergian Meta. Wahyu tidak berhenti menatap sekeliling ruangan kontrakan Sahi. Ia jadi merasa takut kalau Sahi akan terpuruk dengan kejadian ini. Walau ia juga belum tahu apa yang terjadi pada Sahi.
Hatinya seakan ingin merasakan penderitaan Sahi. Ingin memeluk dan menenangkan Sahi lalu berbisik bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Tapi, sadar bahwa dirinya dan Sahi bukan siapa-siapa. Sahi juga pasti akan menolak dengan keras. Dan apa tadi? Memeluk Sahi? Bisa habis Wahyu ditonjok dengan gadis itu jika berani menyentuhnya.
Suara isak tangis terdengar pilu dari arah kamar berukuran kecil. Membuat Syawal dan yang lainnya terdiam dan saling pandang.
"Kayak ada yang nangis. Lo semua dengar kan?" tanya Agi.
"Itu kayak suara Sahi." Wahyu langsung menghampiri sumber suara dan mengetuk pintu dengan cepat.
"Sahi kamu kenapa? Apa kamu ada di dalam? Tolong, keluar sebentar! Ini aku Wahyu." bermodalkan tangan untuk mengetuk pintu dengan keras. Terlihat tidak sopan. Namun, keadaan sedang darurat.
Syawal ikut menemani Wahyu di samping. "Assalamu'alaikum, Sahi. Ini saya Syawal. Kamu kenapa? Apa ada yang kamu rasakan? Coba keluar sebentar." ucap Syawal lemah lembut. Wahyu sampai tertegun, ia jadi merasa beda jauh dengan Syawal.
Kelemahlembutan dan kekerasan. Bukankah hal yang mudah untuk dirasakan? Semua orang jelas akan memilih opsi pertama. Kenapa? Lho, bukankah kita ingin selalu mendapatkan kelemahlembutan dari seseorang? Terlebih lagi seorang perempuan ingin selalu diberi kehangatan dan tutur kata yang lemah lembut.
Hati perempuan mudah sekali tergores. Mendengar suara keras dan perilaku kasar tidak ingin ia rasakan. Makhluk Allah yang memang seharusnya dihargai dan disayangi sepenuh hati. Bukan untuk dimarahi dan dibentak walau salah sekalipun. Wanita lebih suka dinasihati dengan cara lembut. Bukankah begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
ДуховныеSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...