Tak ada pengganti untuk posisi terdepan dari sebuah pelukan.
Dan itu adalah pelukan seorang Ibu. Hanya dekapannya yang begitu menghangatkan.
.
.
.Jika ditampung mungkin air mata itu bisa dapat banyak. Trauma mungkin ada. Ketakutan saat dibentak dan tidak bisa mendengar orang memaki-maki adalah hal yang sudah sering dirasakan.
Bagaimana cara mengatasinya?
Cukup berbicara lembut dengan sentuhan halus pada anggota tubuh yang membuat kita menjadi tenang. Apa contohnya? Bagian kepala dan pundak. Biasanya ketika mendapat usapan, hati menjadi tenang. Mungkin tidak semuanya merasa begitu. Tetapi, kembali pada diri masing-masing.
Pintu terbuka menampakkan wajah sang Ibu. Wajahnya yang begitu damai.
"Tadi ada teman kamu datang ke sini." Meta duduk di samping Sahi, mengelus pundak Sahi lembut membuat Sahi memejamkan mata. Meresapi usapan lembut dari Ibunya.
"Siapa, Bu? Firza?" tanya Sahi dengan suara serak. Efek terlalu banyak menangis.
"Bukan, tapi Wahyu dan teman-temannya." jawab Meta.
"Ibu lupa namanya siapa." lanjutnya sembari mengusap pipi Sahi.
Sahi dibuat bingung. Siapa yang dimaksud oleh Ibunya?
"Ngapain mereka ke sini, Bu?"
"Mereka ingin melihat keadaan kamu. Dan pengin tahu kenapa hari ini kamu nggak masuk sekolah. Mereka khawatir sama kamu. Apalagi tadi Ibu lihat bukan hanya Wahyu aja yang khawatir. Tapi, ada satu cowok juga yang khawatir sama kamu." Sahi mengerutkan keningnya. Siapa? Bertanya dalam hati.
Meta yang sadar akan kebingungan Sahi pun tersenyum tipis. "Udah nggak usah dipikirin. Sekarang kamu makan dulu, ya."
"Sahi belum lapar, Bu."
"Harus dipaksa, perut kamu kosong. Dari pagi belum makan apa-apa." bujuk Meta.
"Nanti Sahi makan." jawab Sahi akhirnya, Meta balas tersenyum hangat.
Senyuman itu yang menguatkan Sahi. Yang bilang seolah Sahi harus tetap semangat untuk hidup. Tidak boleh menyerah begitu saja. Ini adalah ujian yang Allah berikan agar Sahi bisa menjadi hamba yang lebih tabah lagi.
"Apa Ibu cerita tentang keluarga ini sama mereka?" tanya Sahi pelan.
Meta mengangguk samar. Ia tahu Sahi tidak ingin masalah keluarganya diketahui oleh orang lain.
"Ibu hanya ingin mengatakan apa yang kamu rasakan biar nggak ada kesalahpahaman. Ibu nggak ada maksud apa-apa." lirih Meta, lalu tubuhnya hampir saja terhuyung ke belakang karena mendapat pelukan tiba-tiba dari Sahi.
"Jangan tinggalin Sahi, Bu. Sahi takut, Sahi nggak bisa menjalaninya sendiri." racau Sahi disela pelukannya. Meta mengelus pundak Sahi dengan usapan lembut. Inilah yang disebut sebagai pelukan terhangat dari seorang Ibu.
"Kamu nggak pernah sendiri. Allah selalu ada ketika hamba-Nya meminta pertolongan. Jangan pernah berpikir bahwa kamu sendiri, sayang." ucap Meta, meneteskan air matanya. Menangis haru.
Sahi semakin keras menangis dalam pelukan Ibunya.
"Ketika manusia meninggalkan kita, tetapi Allah tidak pernah meninggalkan kita. Ketika manusia menghina kita, Allah akan dengan senang hati menunggu hamba-Nya untuk bersujud dan mengadu segala keluh kesah yang ada. Dan Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya yang sabar saat dihina, saat dibenci, dan saat ditimpa masalah besar sekalipun." Sahi terdiam mendengarkan Ibunya. Perlahan mulai ada kesadaran. Sahi sadar, Allah selalu bersamanya. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
"Ini adalah ujian dari Allah. Kenapa kita diberi ujian seberat ini? Karena Allah yakin kita bisa melewatinya dengan ikhlas. Kita dipilih karena Allah sayang banget sama kita. Kita istimewa."
Sahi mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepalanya mendongak tepat di bawah dagu Meta. "Sahi sayang banget sama Ibu." lalu memeluk Meta kembali. Meta pun membalas pelukan Sahi tak kalah erat.
Dua insan yang menyalurkan rasa hangat dalam pelukan. Hanya ada tangisan untuk saling menguatkan. Mengeluarkan seluruh apa yang dirasa. Berharap diakhir nanti akan mereda.
〰️〰️〰️
Harapan itu benar adanya. Kini keduanya sudah lebih tenang. Hatinya terasa lega setelah menangis. Seolah beban hilang entah kemana.
Sahi duduk di atas kasur dan bersandar di tembok. Kasur sederhana yang tipis berukuran persegi panjang. Hanya cukup satu orang untuk bisa ditempati. Kini hatinya mulai lega. Tidak sesak seperti tadi.
Hampir saja lupa minum vitamin. Setelah menenggak habis minum dalam gelas, Sahi kembali duduk di atas kasur. Memijat pangkal hidungnya yang tersumbat. Penglihatan pun sedikit memburam.
Rasanya pusing sekali. Ditambah ia baru mengisi perutnya dengan nasi. Dari pagi tidak makan apa-apa. Minum pun enggan.
Niatnya tidak ingin seperti ini lagi malah hal itu terjadi pada dirinya sekarang. Kejadian kemarin benar-benar menohok hatinya. Meruntuhkan seluruh kesabarannya. Menghancurkan kebahagiaannya. Membuat takut karena suara bentakannya.
"Om jahat sama Sahi." lirih Sahi, sambil menatap foto sekumpulan keluarga besar dalam bingkai foto. Di situ semuanya lengkap. Kapan ia bisa merasakan perkumpulan keluarga seperti yang ada difoto itu lagi? Bahkan setelah kejadian dimana Sahi kehilangan pahlawan kehidupannya, semua berubah.
Semua dapat Sahi rasakan perubahannya. Sahi merasa kehilangan kehadiran keluarga.
Tangannya iseng mengambil handphone dalam tas sekolahnya. Ia menerka, pasti banyak pesan dan panggilan dari Firza.
Dan saat mengaktifkan handphonenya, ternyata benar. Firza sudah puluhan kali menelepon Sahi.
Dan beberapa pesan dari Firza.
Sahabat surga :
Assalamu'alaikum, Sahi.
Kamu kenapa nggak masuk sekolah?
Aku khawatir, Sah.
Apa ada masalah?Sahabat surga :
Sahi?
Kamu kemana sih?
Jawab dong!
Sahiya Farida?
Astaghfirullah, kamu kemana sih?Sahabat surga :
Kamu kenapa pindah rumah?
Jangan tinggalin Firza, Sah.
Sahi?
Please, angkat telepon aku.Begitulah ocehan Firza dalam chat. Sebegitu khawatir Firza pada Sahi?
Sahi sampai terbawa haru. Hatinya menghangat ketika sahabatnya, Firza begitu cemas saat dirinya tidak ada kabar.
Tidak ada niat untuk membalas pesan Firza. Biarlah besok ia yang menjelaskan langsung pada sahabatnya itu.
Di dapur, Meta sedang membereskan piring kotor. Tangannya memang fokus mencuci piring dengan telaten. Namun, pikirannya entah ada dimana. Meta menguatkan diri agar tetap bisa menjaga Sahi.
Tanpa diminta, air matanya menetes bersamaan dengan air yang mengalir pada piring. Rasanya begitu sesak menahan beban seorang diri.
Wanita kuat itu mencoba tersenyum walau dibalik senyumnya ada banyak kepedihan yang tersimpan dalam diri.
〰️〰️〰️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...