34. Acara Tiba

11 1 0
                                    

Perasaan bimbang. Haruskah membuat lelaki itu menunggu dan perlahan menyakiti hatinya? Atau memberikan jawaban walau hati belum sepenuhnya menyimpan sebuah cinta?
.
.
.

Dua hari setelah kejadian dimana Sahi mendengar berita tentang Omnya, Sahi mempersiapkan diri untuk mengikuti acara sekolah yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Keadaan semakin ramai. Seluruh murid antusias memeriahkan acara itu. Apalagi banyak dari mereka begitu keras latihan ekstrakurikuler yang mereka tekuni, agar bisa menampilkan yang terbaik.

Panggung pun terlihat besar dan menarik. Berdiri dua orang yang sedang melakukan pembuka acara. Sangat lihai dan menghibur tentunya.

Sorakan-sorakan dan semangat terus terdengar.

Kebetulan kenaikan kelas sebentar lagi. Acara ini juga untuk menyambut kelas baru. Itu fakta kegiatan yang ada di sekolah ini. Berbeda dari sekolah pada umumnya. Namun, berbeda dari yang lain adalah suatu hal yang unik dan menyenangkan, bukan?

"Kalian udah siap?" seorang laki-laki dengan pakaian marawisnya bertanya. Serta tak lupa tangan yang menggenggam alat marawis.

"Siap!" jawab mereka semua bersamaan.

"Jangan lupa baca do'a sebelum melakukan sesuatu." nasihat perempuan dengan senyum teramat manis.

"Iya, Kak."

Sebelum mereka menampilkan ekskulnya, latihan sebentar mungkin akan menambah kelancaran untuk nanti tampil di depan banyak orang.

Suara sholawat begitu merdu masuk dalam pendengaran. Dua orang yang kini sedang melantunkan sholawat tampak tenang.

"Saya kok jadi gugup ya, Kak?" tiba-tiba cowok yang duduk di kursi sambil memegang alat marawisnya bersuara gemetar.

"Gugup kenapa, Ram?" tanyanya bingung.

"Nggak tahu nih, Kak. Di samping saya ada bidadari cantik banget." semuanya berdecak kesal. Mencoba sabar. Dikira benar-benar gugup akan tampil, nyatanya cuma gombalan.

"Ramdan! Kamu bisa nggak sih jangan bercanda terus?" omel Wati, berkacak pinggang. Walau terkesan galak, baju yang Wati kenakan cocok dan terlihat anggun ditubuhnya.

"Nggak bisa." jawab Ramdan polos, menggelengkan kepalanya lucu. Membuat Wati geram.

"Jangan marah terus. Nanti cantiknya hilang, Wat." Yudi memainkan kedua alisnya, menggoda Wati.

"Aku emang cantik. Makasih, Yudi!" pekik Wati. Yudi memutar bola matanya jengah. Ingin sekali menarik ucapannya tadi. Wati terlalu percaya diri.

Tapi, benar. Wati terlihat cantik. Yudi mengakui. Namun, enggan membenarkan. Gengsi, katanya.

"Risya, kamu cantik banget. Habis dari sini boleh nggak aku ketemu sama Abi kamu? Pengin meminta restu sekalian melamar kamu." Ramdan terkikik sendiri saat mengatakannya.

"Gombal aja terus. Risya juga belum tentu mau." ledek Firza.

Ramdan melirik Risya. "Pasti mau. Iya kan, Sya?"

Hanya diam yang bisa Risya lakukan. Meladeni Ramdan tidak akan ada habisnya.

"Risya aja diam. Berarti dia nggak mau sama kamu." kekeh Yudi. Ikut meledek Ramdan.

"Dia malu kalau jawab di sini. Saya yakin dia pasti mau dan nggak akan nolak." jawabnya begitu yakin dan tenang.

"Jangan terlalu berharap." saran Farid. Pandangannya fokus ke arah panggung yang kini sedang diisi dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh Adik kelas.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang