14. Kehidupan Wahyu

19 2 0
                                    

Tertawa belum tentu terlihat bahagia. Nyatanya ada hati yang rapuh dibalik tawa itu.
.
.
.

"Kemana aja lo? Anak-anak nanyain terus." cowok yang ditanya pun hanya bisa menghela nafas. Memang sudah lama tidak berkunjung ke tempat ini. Tempat dimana ia mencari uang untuk bertahan hidup.

"Maaf, Bang. Gue lagi sibuk." jawabnya lesu.

"Sibuk apa? Paling sibuk ngejar cewek impian lo itu kan?" suara tawa keluar dari mulutnya.

"Susah, Bang. Nggak semudah yang lo bayangin."

"Mana mau dia sama cowok urakan kayak lo," ledek cowok yang lebih enam tahun darinya.

Banyak yang bilang bahwa dia memang tidak pantas dengan cewek sholehah. Karena, mereka berbeda. Yang satu cewek sholehah dan satunya lagi cowok nakal. Sering melanggar aturan yang ada. Tetapi, tidak ada yang tahu ke depannya seperti apa, bukan? Jodoh itu tidak bisa ditebak. Alurnya benar-benar mengejutkan.

Helaan nafas kembali keluar dari cowok berjaket kulit coklat itu. Rambutnya bisa dibilang gondrong. Matanya terkesan sayu. Bisa dilihat bahwa dia memiliki kesedihan yang mendalam. Atau mungkin efek sering begadang? Tidurnya mengurangi batas yang seharusnya.

"Benar, Bang. Kita berdua itu seperti air dan minyak. Mungkin sulit untuk bersatu." matanya menerawang jauh saat melontarkan kalimat itu.

"Maaf, gue nggak bermaksud. Gue heran aja, kenapa sih lo sampai segitunya?" bukannya marah, cowok itu malah tersenyum dan menepuk bahu orang di sampingnya.

"Santai aja, faktanya emang benar kan? Dia beda dari cewek lain. Mau dapatin dia kita harus berjuang. Nggak mudah. Itu yang menjadi tantangan buat gue, Bang." jawabnya sembari tersenyum.

"Lo jadiin dia bahan untuk memenangkan tantangan?"

"Ya, nggak, Bang. Gue tulus cinta sama dia. Lihat dia kayak ada cahaya yang bikin hati gue terang. Adem banget auranya." bantah Wahyu sambil mengingat kembali wajah ayu itu. Sungguh idaman para lelaki.

"Gue jadi penasaran sama cewek itu."

Wahyu melotot tajam. "Jangan penasaran!"

"Kenapa?"

"Nanti lo suka sama dia." decak Wahyu.

Keluar suara tawa dari orang tersebut. Wahyu ada-ada saja, pikirnya. Mana mungkin dirinya menyukai orang yang disukai Wahyu. Persahabatan masih dihargai. Bukan hanya sahabat. Mereka sudah seperti layaknya Kakak beradik.

"Perasaan muncul karena rasa penasaran dan berujung mencari tahu, setelah itu mengagumi dan pada akhirnya mencintai." lanjut Wahyu menjelaskan, seperti lelaki yang mengerti betul tentang cinta.

"Lo nggak ingat kalau gue udah punya Oci? Gue tipe orang yang setia. Nggak akan gue suka sama cewek itu." jawabnya bangga.

Wahyu terkekeh pelan. Ia hampir saja melupakan bahwa Abangnya ini memiliki seorang kekasih. "Maaf, Bang. Gue cuma jaga-jaga sih."

Lalu terjadi keheningan beberapa saat.

"Gue harus bantu apa buat kehidupan lo?" suasananya mulai serius. Membicarakan hal yang menyangkut kehidupan pribadi.

"Nggak perlu, Bang. Gue masih bisa hidup dari upah mengajar basket di sini. Ditambah jadi cleaning service di sini juga udah lebih dari cukup."

Lapangan basket yang luas membutuhkan pekerja bersih-bersih agar selalu telihat nyaman oleh para pengunjung. Dia bekerja sebagai pelatih basket dan juga cleaning service. Bakatnya dibidang olahraga ia manfaatkan untuk mengajar basket anak-anak di sini.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang