Kenangan pahit akan terus terasa pahit. Ketika dirimu masih terpaut dengan rasa trauma.
.
.
."Syawal takut, Umi." suara lirih begitu menyayat hati seorang Ibu yang kini tengah memeluk anaknya. Sembari mengelus punggung itu agar bisa menenangkan.
"Kecelakaan itu... Syawal lihat lagi, Umi. Syawal takut." ucapnya dengan suara parau. Ia terus menangis dalam dekapan Yulia.
Melihat sang anak menangis tentu membuat dirinya ikut tersayat. Tak tega melihat lelaki ini kembali merasakan trauma itu lagi. Setelah sekian lama kejadian itu terjadi. Kini memori itu berputar di hadapan Syawal.
Baru kali ini Yulia melihat betapa rapuhnya Syawal saat kehilangan sosok Kakak yang begitu dia cintai. Teringat kembali pada masa penuh kehancuran saat itu.
"Kak Syawa udah bahagia di sana. Syawal nggak boleh terus begini, sayang. Umi nggak mau lihat Syawal sedih." bisik Yulia bergetar.
Bukannya berhenti, Syawal semakin terisak. "Nggak bisa, Umi. Syawal salah karena nggak bisa jaga Kak Syawa dengan baik." selalu menyalahkan dirinya sendiri.
Yulia menggeleng keras, membantah apa yang diucapkan Syawal. "Bukan, sayang. Ini udah jadi takdir Kak Syawa. Umi nggak suka, ya. Syawal selalu menyalahkan diri sendiri."
"Kenapa?" suara berat menghampiri Syawal dan Yulia.
Yulia segera menatap suaminya dengan cemas. "Syawal kembali ingat dengan kecelakaan itu, Abi."
Fazar langsung mendudukkan diri di samping Syawal. Mengusap kepala Syawal dengan lembut sambil berkata, "semuanya akan baik-baik aja. Abi yakin Syawal bisa hilangin rasa trauma itu." Syawal menatap Abinya dengan sendu.
"Syawal takut, Bi. Syawal takut nggak bisa hilangin rasa traumanya." suaranya kembali normal. Kepalanya tertunduk ke bawah. Di dekat Fazar sebisa mungkin jangan tampilkan wajah menyedihkan.
Tidak merasa kasihan, Fazar justru tersenyum geli. Melihat bagaimana ekspresi Syawal tadi begitu ketakutan. Ini sangat langka.
"Abi, kok malah kayak gitu sih?" tegur Yulia. Menatap suaminya penuh jengkel.
"Lucu lihat wajah Syawal yang ketakutan, sayang." kekeh Fazar membuat ekspresi Syawal menjadi cemberut.
Saat melihat wajah tidak bersahabat istri dan anaknya. Fazar merasa sedikit bersalah. "Abi bercanda."
"Umi, kayaknya Abi lapar. Umi masak apa?" tiba-tiba Fazar dengan tenangnya bertanya seperti itu. Syawal dibuat semakin sebal dengan tingkah Fazar. Begitupun dengan Yulia.
"Abi kok ngeselin? Jangan mulai deh," gertak Yulia.
"Lho, kenapa? Abi cuma nanya." balas Fazar dengan wajah polos.
Yulia menghela nafas sabar. "Lihat keadaan, Abi."
"Yaudah, kalau Umi nggak mau siapin makan buat Abi. Abi bisa ambil sendiri." Fazar bangkit dan pergi menuju dapur. Syawal menatap Abinya, sebal. Keadaan sedih, Abinya santai-santai begitu.
"Anak laki-laki nggak boleh cengeng!" teriak Fazar saat berada di dapur. Lalu terdengar suara tawanya.
"Abi! Syawal marah sama Abi!" Fazar semakin tertawa mendengar suara anaknya.
"Umi juga!" namun, berhenti saat istrinya yang berkata demikian. Jangan sampai Yulia marah. Sulit untuk membujuk istrinya itu untuk kembali seperti biasa ketika benar-benar diambang kemarahan.
Dengan cepat Fazar berlari menuju tempat dimana Yulia dan Syawal masih tetap duduk.
"Umi jangan ikutan marah dong. Biar Syawal aja yang marah. Umi jangan." Fazar memohon. Tidak sadar ditangannya masih memegang centong sayur. Syawal hanya diam saat namanya disebut.
Yulia justru terkikik melihat apa yang ada ditangan suaminya.
"Umi kenapa?" tanya Fazar heran.
"Abi kenapa bawa centong sayur ke sini?" kekeh Yulia.
Seketika Fazar sadar, lalu tersenyum kaku. "Abi lupa, tadi habis ambil sayur."
"Yaudah, sana." usir Yulia tanpa beban.
"Umi ngusir Abi?" wajahnya dibuat semelas mungkin. Bukannya terlihat menggemaskan, itu malah terlihat aneh bagi Syawal yang sejak tadi memperhatikan Abinya.
"Jangan kayak gitu wajahnya, Bi."
"Terserah Abi." jawab Fazar ketus. Syawal balas terkekeh.
Masalah tadi seolah hilang terbawa arus. Melihat tingkah Abi dan Uminya membuat Syawal terhibur. Fazar yang terkesan tegas dan dingin begitu luluh saat berhadapan dengan Yulia. Hilang kemana sikap berwibawanya.
"Syawal mau ke kamar, ya." pamit Syawal. Lalu bangkit dari sofa.
"Kamu jangan sedih lagi. Umi nggak mau lihat Syawal sedih." lirih Yulia. Menatap Syawal dengan sendu. Matanya mulai berkaca-kaca, sebentar lagi cairan bening itu akan turun.
Dan benar. Yulia menangis. Syawal paling tidak suka melihat air mata kesedihan dari mata Uminya.
"Umi nggak boleh nangis. Syawal nggak apa-apa, Umi." tangan Syawal mengelap air mata yang membasahi pipi Yulia.
Fazar yang menyaksikan kedua orang yang begitu dicintainya ikut tersenyum bahagia. Ia bersikap seperti tadi hanya ingin menghibur Syawal. Walau dirinya jarang sekali membuat lelucon, setidaknya itu dapat membuat anak dan istrinya tertawa.
"Biar Abi aja yang usap air mata Umi." Fazar menepis tangan Syawal. Kemudian mengusap pipi istrinya.
Syawal tersenyum jahil. "Abi mah cemburuan. Syawal dicemburuin. Padahal Syawal anaknya."
"Biarin." jawab Fazar cuek. Tangannya masih setia mengusap-usap air mata istrinya.
Tanpa basa-basi lagi Syawal melangkah ke kamarnya dengan kepala tertunduk lesu. Berhenti sejenak dan melihat ke arah orang tuanya yang sedang tertawa. Syawal jadi merasa beruntung memiliki keluarga seperti ini. Namun, rasanya masih hampa. Ada rasa rindu yang kian datang mengingatkan dirinya pada wanita yang kini sudah lebih dulu menghadap Sang Ilahi.
"Syawal rindu, Kak."
〰️〰️〰️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...