07. Rindu Lagi?

44 6 0
                                    

"Rindu ini datang lagi, akankah rasa sakit ini juga akan kembali?"
.
.
.

Sepertinya akan ada yang merasakan kepedihan itu lagi. Lihat saja, perempuan itu sudah setia menatap jendela kamarnya. Tatapan matanya begitu kosong. Pipinya telah basah oleh air mata. Hujan di luar menambah kenangan itu terputar kembali. Kejadian menyakitkan itu juga yang merenggut ketenangannya. Semakin derasnya hujan, semakin pula banjirnya air mata. Tidak dapat menahan genangan air dalam pelupuk matanya yang berkantung. Lelah dilihat, terasa ke lubuk hati kesedihannya.

Rindu itu kembali menyapa dalam keheningan ruang gelap. Embusan angin malam ditambah derasnya hujan semakin membuat suasana menjadi lebih dingin. Suara yang tadinya hanya tetesan, kini terdengar bergemuruh.

Tidak peduli jika harus terus berdiam duduk sambil memeluk tubuhnya. Hanya mencoba menghangatkan lewat cara itu. Tirai jendela yang ia biarkan terbuka menampakkan gelapnya malam. Seorang pun tidak ada yang terlihat di luar sana. Mereka mungkin telah lelap dalam hangatnya selimut yang membalut tubuh mereka. Kasur empuk yang setia menemani lelahnya setelah melewati dunia yang dramatis ini. Hanya perempuan itu yang menyiksa dirinya untuk duduk di dekat jendela menatapi hujan yang mengguyur minggu malam itu.

Lagi-lagi hujan turun membawa tangisan untuknya. Banyak yang ingin ia keluhkan. Nyatanya hanya terpendam dalam pikiran. Sampai kapan dia akan terus kembali seperti itu? Apa dia tidak lelah?

"Dia jahat." lirih perempuan itu.

Kenapa rindu ini semakin kuat saat hujan turun? Tidak sanggup jika harus menahan rasa rindu ini. Ingin sekali memeluknya, ingin sekali bercanda dengannya, dan ingin sekali tertawa lepas bersamanya.

Ucapan itu hanya bisa lepas dalam hati.

"Sakit, rasanya seperti orang bodoh karena kenangan itu menghampiri." ucapnya kembali lirih. Ketakutan jelas ada di balik mata sendunya. Kejadian mengerikan itu, menempati trauma terdalam baginya.

Seorang itu yang menjadi pahlawan kehidupannya, yang memberikan seluruh cintanya. Kini hanya perlakuan baiknya yang masih terngiang-ngiang di kepala. Tidak ada lagi yang bisa ia hampiri untuk meminta candanya.

"Pahlawan kehidupan, dia yang telah mengajarkan banyak pelajaran hidup." ucapnya pelan dengan kepala tertunduk.

Waktu seakan berhenti ketika hadirnya lenyap dalam kedipan mata. Kejadian di depan mata kala itu runtuh seluruh hidupnya. Kalau saja tidak terdengar ucapan menjijikkan itu, seorang yang dicinta itu tidak akan merasakan sesaknya karena mendengar kalimat menyakitkan.

Tanpa terasa waktu bergerak sampai tengah malam. Perempuan itu masih enggan bangun dari duduknya. Hujan pun semakin deras sejak tadi. Tidak mau pergi seolah merasakan sedih atas perempuan itu. Meredam isakan perempuan itu. Memeluk lewat tumpahan airnya.

Kepalanya ia sandarkan pada jendela. Hingga tidak sadar rasa kantuk mulai menyerang. Ia pun tertidur dengan posisi tidak nyaman, pipinya basah dengan mata yang sembab. Jangan kaget jika besok dia akan terbangun menghadap cermin dan melihat penampilannya.

• • •

Suara adzan subuh membangunkan perempuan itu. Bunyi kokok ayam juga ikut menjadi alarm yang perannya tidak lagi diragukan. Perempuan itu segera bangun. Saat bangun terdengar ringisan dari mulutnya. Badannya mulai pegal-pegal hingga kakinya pun ikut keram.

"Astaghfirullah, sakit banget." ringisnya.

"Sahi?"

Sahi segera menengok saat melihat wanita itu menghampirinya dengan wajah panik. Membawa segelas air yang saat itu juga diletakkan di atas meja dekat jendela yang Sahi tempati.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang