Kepedulian perlu diterapkan mulai dari perkara kecil. Beruntunglah jika kita memiliki teman yang menjunjung tinggi sikap peduli.
.
.
.Mereka berada tepat di depan pintu rumah Sahi. Syawal segera mengetuk pintunya.
Tok, tok!
Satu kali tidak ada jawaban.
Syawal mencoba lagi.
Dua kali tetap sama.
Dan ketiga kali. Barulah muncul pemuda dengan aura datar. Juga sedikit menyeramkan.
"Assalamu'alaikum," ucap mereka serempak.
"Wa'alaikumussalam," jawab pemuda itu.
"Mau cari siapa?" lanjutnya bertanya.
"Kita mau cari Sahi, Bang. Apa Sahi ada di dalam? Hari ini dia nggak masuk sekolah. Dan nggak ada kabar sama sekali. Kalau boleh tahu Sahi kenapa ya, Bang?" tanya Syawal sopan sambil membungkukan badan.
"Dia udah nggak tinggal di sini." mereka terkejut. Firza menatapnya tidak percaya. Ia tahu betul dengan sejarah rumah ini. Sahi pasti ada masalah. Tidak mungkin Sahi pindah begitu saja.
Begitupun mereka, menatap satu sama lain. Seolah bertanya, kenapa Sahi pindah rumah?
"Kalau boleh tahu, sekarang Kak Sahi tinggal dimana ya, Bang?" tanya Ramdan.
"Mana saya tahu. Bukan urusan saya." lalu masuk ke dalam dan menutup pintu dengan kencang hingga memekik telinga.
"Astaghfirullah." Syawal mengusap dadanya.
"Siapa sih? Abangnya, ya? Jutek banget. Kita nanya baik-baik, kenapa dia malah sewot?" maki Wahyu masih menatap pintu bercampur rasa kesal.
"Kalau bukan Abangnya udah gue tonjok." lanjutnya menahan amarah.
"Lebih baik kita pergi." putus Syawal menengahi.
"Sahi pindah kemana, ya?" Firza merasa khawatir pada Sahi. Sejak tadi mereka mencari namun tak kunjung mendapat petunjuk.
"Apa Kak Firza tahu rumah keluarga Kak Sahi yang lain?" tanya Wati.
"Yang aku tahu keluarga Sahi itu jauh. Nggak tinggal di daerah ini." jawab Firza.
"Kamu kemana sih, Sah? Aku khawatir sama kamu." gumam Wahyu. Matanya menelusuri jalanan.
Kekhawatiran juga dialami oleh Syawal. Sejak tadi berpikir keras, menanyakan dalam hati. Dimana keberadaan Sahi dan bagaimana keadaannya.
"Nggak mau beli minum dulu? Saya haus, Kak." lirih Ramdan pada Syawal.
Syawal tidak tega melihat teman-temannya begitu kelelahan. Seharusnya ia tidak membiarkannya keliling seperti ini. "Bentar, saya beli minum dulu. Kalian tunggu di sana," sembari menunjuk tempat di bawah pohon yang rindang.
Mereka hanya bisa mengikuti. Cuaca hari ini benar-benar panas walau sudah terbilang sore hari. Keringat bercucuran dimana-mana. Mencoba mengibaskan tangan untuk mengurangi hawa panas.
Firza mengibarkan kerudungnya untuk menyejukkan badan. Sesekali mengelap keringat yang menetes dipelipisnya. Farid sampai tidak tega melihat wajah Firza yang kelelahan. Hatinya tergerak untuk memberikan sebungkus tisu kepada Firza.
"Buat kamu. Usap pakai tisu." tangannya menyodorkan tisu pada Firza. Dan menyimpannya di bawah.
"Kalau ada yang mau ambil aja." ucapnya lagi, sambil menunjuknya dengan dagu.
"Makasih." cicit Firza, dan langsung mengusap wajahnya. Farid hanya mengangguk sekilas.
"Kak Syawal lama banget sih. Aku udah haus banget nih." keluh Wati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...