02. Teringat disaat Hujan

87 13 6
                                    

"Tetesan air hujan mampu mengembalikan ingatan saat bersamanya. Saat aku masih bisa menatap dalam jarak dekat."
.
.
.

Suara derasnya hujan terdengar dari atas genting tanah liat. Namun, turunnya hujan kali ini membawakan tangisan air mata bagi Sahi. Tak sanggup jika harus terus merenung dikala hujan datang. Justru hujanlah yang akan memutar kenangan yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Tolong, berhentilah hujan. Tak sanggup jika memori yang pernah terlalui bersamanya harus terputar kembali. Kenangan yang begitu melekat. Saat dirinya masih berada di sisi ini." Sahi menatap air hujan dari jendela kamarnya. Mata sendu itu yang menatap rintikan deras dari hujan di luar sana. Sesekali menitikkan air mata, lagi.

Dia lebih sering menangis, marah pada dirinya sendiri, merenungi hidupnya. Seperti orang hilang kesadaran setelah mengalami kejadian menyakitkan itu.

Yang selalu teringat dalam pikiran Sahi adalah senyuman dan tawa bahagia seorang itu. Seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Padahal Sahi tahu bahwa dia selalu menyembunyikan kesedihan dan lelahnya pada siapapun. Hingga selalu terlihat baik-baik saja. Nyatanya tidak.

Bagi Sahi, Seorang itu yang kuat dalam menghadapi masalah menjadikan Sahi berpegang teguh untuk lebih kuat pada kerasnya dunia yang penuh drama ini. Penuh tipu-tipu yang katanya menjajikan kejayaan nyatanya menghadirkan kesengsaraan. Dan Sahi harus lebih bersyukur atas apa yang diberikan Sang Kuasa kepada dirinya.

Bahkan Sahi tidak pernah melihatnya mengeluh dan bersedih. Wajah itu selalu dihiasi senyum hangat yang begitu teduh. Yang membuat Sahi kagum berlebih padanya. Rasa girang ketika mendapat hal yang langka itu. Lenyap senyuman yang penuh haru karena ada yang lebih menyayangi dia dibanding Sahi.

"Selalu teringat pesan dan harapannya yang ingin diri ini menjadi wanita kuat, berprestasi, dan memiliki masa depan yang baik. Untuk sekarang diri ini sangat merindukannya, bahkan kehilangannya membuat diri ini rapuh tak berdaya."

"Tak bisa untuk mengikhlaskan kepergiannya. Terlalu berat untuk waktu yang sesingkat ini. Semua butuh waktu yang cukup untuk merelakan."

Ungkapan kesedihan sudah terlalu sering ia keluhkan dari mulutnya. Tangisan mengalir pun sudah banyak ia keluarkan dari matanya. Terlihat bengkak mata mungil itu. Bibirnya ikut pucat seperti bibir tanpa polesan gincu merah atau warna feminim lainnya. Kering dan pecah-pecah. Dan lagi pancaran keceriaan tidak lagi terpancar dari balik bola matanya. Hanya ada pancaran ketakutan dan keputusasaan.

"Hujan, maaf. Bukan bermaksud membenci dan tidak menyukai kehadiranmu. Tapi, suasanamu membuat hati ini sakit saat kau mengembalikan kenangan bersamanya. Yang sekarang perlahan ingin disimpan dalam nyamannya tempat. Tolong, maafkan diri ini yang tidak pernah bersyukur atas hadirmu."

Tisu di tangannya mengusap kasar air mata yang sejak tadi tidak mau kering sebelum dirinya minum sekali tenggukan. Setelahnya, Sahi mengeluarkan hembusan napas gelisah. Pelan-pelan mulai bangkit untuk keluar dari kamar. Setelah sekian hari bahkan minggu ia mengurung diri akhirnya memutuskan untuk keluar.

Saat berada di ruang tamu Sahi melihat Ibunya sedang membereskan pakaian.

Sungguh anak macam apa yang diam melihat orang tuanya kesusahan. Enggan membantu sama sekali karena terlalu lelap dalam keterpurukan. Batinnya menyesal.

Bukankah itu cara yang salah? Bahkan sampai saat ini pun Sahi belum sepenuhnya sadar dan bangkit untuk melanjutkan hidup. Terasa berat dijalani.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang