33. Satu Masalah Selesai

8 1 0
                                    

Setiap ada permasalahan, di situ muncul solusi yang memecahkan.
.
.
.

Kepulangan sang Nenek membuat Sahi tenang. Neneknya saat ini sudah berada di kontrakan. Duduk dengan kaki yang dibiarkan selonjoran. Sahi memijat kaki Neneknya untuk mengurangi rasa pegal karena sejak tadi berjalan cukup jauh untuk sampai di kontrakan ini.

Sahi tersenyum tipis. "Nenek mau makan apa? Biar Sahi belikan."

"Nenek nggak mau beli. Nenek mau masakan Ibu kamu." Nek Sarah menatap Meta.

Meta dengan senang hati akan membuatkan Ibu mertuanya makanan. "Nanti aku masakin ya, Bu."

"Ibu mau makan apa?" lanjutnya bertanya.

"Ikan bumbu kuning kayaknya enak." jawabnya sembari menimang-nimang. Sontak membuat Sahi membulatkan matanya. Kenapa makanan itu yang disebut? Betapa sulitnya Sahi untuk tidak larut dalam kesedihan. Kini ada saja hal yang membuatnya kepikiran.

Untuk menuruti kemauan Ibu mertuanya, Meta segera menyiapkan bahan untuk membuat ikan bumbu kuning. Melirik sebentar anaknya yang murung karena mendengar makanan itu. Meta paham. Ia juga bisa merasakannya.

Sahi tetap memijat kaki Neneknya. Wanita itu pun begitu menikmati sampai memejamkan mata.

"Nenek udah tahu semuanya." Sahi mengerutkan kening. Tidak paham apa maksud dari sang Nenek.

"Tentang Om Eki." lanjutnya menjelaskan saat melihat kebingungan Sahi.

"Sahi udah ikhlas, Nek. Kalau emang itu keinginan Om Eki." Sahi pasrah.

"Nenek nggak akan biarkan cucu Nenek menderita seperti ini. Lagipun itu adalah hak Ayah kamu. Bukan hak Eki. Nenek sendiri yang menyerahkan rumah itu untuk Ayah kamu, Sahi." ucap Nek Sarah tegas.

"Sekarang rumah itu bisa kamu tempati lagi dengan Ibu kamu. Eki udah Nenek usir. Bukan cuma itu, sebelumnya Eki memang memiliki kasus kejahatan. Nenek mau dia mempertanggungjawabkan kesalahannya. Dan sekarang dia menerima akibatnya."

Deg!

Apa maksudnya?

Flashback on.

"Ibu ngapain di sini?" tanya pemuda itu kaget saat melihat Ibunya datang.

"Kamu yang ngapain di sini? Ini kan rumah Sahi, cucu Ibu." ucapnya terheran.

"Kemana cucu Ibu?" tanya Nek Sarah dengan lantang.

"Udah Eki usir." jawabnya santai membuat Nek Sarah melotot.

"Apa maksud kamu, Eki? Ini rumah Kakak kamu!" bentak Nek Sarah.

"Ini juga hak Eki, Bu." bantahnya.

"Nggak ada hak kamu di sini. Ibu sendiri yang kasih rumah ini untuk Kakak kamu. Jangan coba-coba merebut. Kamu juga udah Ibu kasih. Apa masih kurang?" ucapnya kesal.

"Eki nggak suka Ibu lebih sayang sama Bang Haidar." lirih Eki. Begitu benci melihat kasih sayang Ibunya untuk Ayah Sahi.

Nek Sarah menatap Eki sepenuhnya. "Ibu nggak pernah membeda-bedakan kalian. Semuanya anak Ibu. Jangan begini Eki, Ibu mohon."

Eki menatap Ibunya dengan sorot penyesalan. "Maafin Eki, Bu."

"Ibu nggak nyangka kamu bisa setega ini sama Sahi. Sahi itu keponakan kamu, Eki! Apa sih yang ada dipikiran kamu?" ucap Nek Sarah, matanya menyorotkan kekecewaan.

"Kejahatan kamu selama ini juga Ibu udah tahu, Eki." lanjutnya dengan suara meninggi. Ia begitu kecewa dan marah ketika tahu apa yang disembunyikan Eki.

Tubuh Eki menegang saat Ibunya mengatakan hal itu. Tahu darimana Ibunya?

"A-apa maksud Ibu?" tanya Eki mencoba biasa saja.

Nek Sarah menunjukkan sebuah foto. "Kurang jelas?" dimana Eki menjadi bandar obat-obatan terlarang. Sedang menyalurkan kepada orang lain. Foto itu diambil oleh kepercayaan Nek Sarah.

Eki juga termasuk pemakai obat itu.

Tanpa bisa membantah. Ia mengakui kesalahannya. Mungkin selama ini terlalu menganggap kejahatannya tidak akan diketahui dan berpikir aman tanpa terkuak. Nyatanya, sehebat apapun menyembunyikan kejahatan pasti akan tercium dan berakhir terbongkar.

Ia langsung bersimpuh dilutut Ibunya. Meminta maaf atas kesalahannya. Terlalu banyak kekhilafan yang ia lakukan. Sampai Ibunya juga tidak tahu harus bagaimana.

Ibu mana yang tega membiarkan anaknya mendekam dalam jeruji besi?

Semua orang tua pasti tidak mau anaknya menderita.

Tapi, kesalahan itu harus dipertanggungjawabkan. Ia tidak mau membela anaknya yang salah. Biar Eki mempertanggungjawabkan semua ini.

"Serahkan diri kamu atau Ibu yang akan memanggilnya ke sini," kuat tidak kuat, Nek Sarah terpaksa melakukan itu. Bukannya tidak sayang pada anaknya. Ini jalan yang memang harus Eki terima atas perbuatannya. Agar Eki juga jera.

"Eki yang akan menyerahkan diri, Bu." putus Eki pasrah.

"Maafin, Ibu. Nggak ada sedikitpun maksud Ibu untuk menyiksa kamu. Ibu sayang sama kamu, Eki." tangis Nek Sarah pecah. Ia menarik tangan Eki, menyuruhnya untuk berdiri dan langsung memeluknya dengan erat.

"Maafin Eki, Bu." entah yang ke berapa kali Eki mengucapkan kata maaf. Rasanya itu tidak cukup untuk menebus semua kesalahannya.

Flashback off.

Sahi benar-benar tidak menyangka. Pantas Eki selalu bersikap temperamental. Setelah mendengar cerita dari Neneknya, Sahi jadi tahu sekarang.

"Om Eki di tahan?" tanya Sahi bergetar.

Nek Sarah mengangguk sebagai jawaban.

"Semuanya hancur, Nek. Sahi nggak sanggup melihat keluarga ini hancur. Kenapa, Nek? Semuanya berubah." isak Sahi, memeluk Neneknya erat.

"Sahi nggak nyangka Om Eki bisa setega itu sama Sahi dan Ibu. Dia tega usir Sahi." bisiknya, mengadu saat pernah diperlakukan seperti itu oleh Eki.

"Kamu nggak perlu takut. Om Eki nggak akan ganggu kamu lagi. Nenek yang akan menjaga kalian. Walau dari kejauhan." balas Nek Sarah mengusap punggung Sahi dengan lembut.

Sahi memejamkan mata. "Sahi sayang sama Nenek."

Nek Sarah tersenyum haru. "Nenek lebih sayang sama Sahi."

Berpelukan.

Menyalurkan kerinduan dan rasa sayang yang terpendam. Nenek dan cucu itu seakan tak ingin melepaskan pelukan hangatnya.

Sahi merindukan kehangatan ini. Pelukan ini begitu Sahi dambakan. Dalam hatinya Sahi bersyukur. Kini satu masalah telah selesai.

〰️〰️〰️

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang