Mencurahkan isi hati ke dalam tulisan, memang lebih terjaga dan aman. Namun, mencurahkan isi hati pada Sang Maha Pencipta lebih menenangkan hati dan akan ada jalan keluar yang diberikan.
.
.
.Rumah kembali sepi saat Sahi mulai memasukinya. Hanya ada suara decitan pintu yang terdengar. Segera Sahi membersihkan diri. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi adzan maghrib akan segera tiba.
Kini Sahi membaringkan badan di atas kasur empuk miliknya. Apa kalian pikir Sahi akan merasakan sepi dan takut saat sendiri? Ya, memang benar. Sahi merasa sepi. Namun, tidak takut sama sekali.
Saat sendiri seperti ini biasanya Sahi akan merenung. Memikirkan semua kesalahan yang telah ia lakukan. Menyesali setiap dosa yang ia perbuat. Sesekali menitikkan air mata karena terlalu takut pada Allah.
Merenungi kesalahan diri dikala sepi adalah waktu yang sangat tepat. Dimana keadaan itu sangat mendukung untuk mengingat kembali apa saja yang kita lakukan seharian ini. Bukan begitu?
Kembali lagi, Sahi duduk di atas kasur dengan sebuah buku yang ia pegang. Ada satu fakta tentang diri Sahi. Menulis cerita adalah kesenangannya.
Mungkin saat waktu senggang Sahi akan menulis ceritanya. Kini tangannya telah bergerak ke sana kemari menuangkan ide ke dalam tulisan. Juga memberikan kesan rapi. Dengan tulisan yang terlihat menarik. Senyumnya tertarik ke atas membentuk bulan sabit. Kemudian berubah menjadi tatapan haru.
Rindu,
Satu kata namun penuh makna.Bolehkah aku rindu?
Rindu ingin bertemu dan memeluknya.
Merindukan sosoknya yang tak kunjung habis.Mengingatnya semakin menyayat hati ini. Rasanya hati seperti dicabik-cabik.
Setiap kenangan yang ku lalui selalu berputar dalam lingkaran kepala ini. Aku benar-benar rindu. Semua yang ada dalam dirinya, sangat kurindukan.Akankah ada sosok pengganti yang akan menyayangiku sepenuh hati? Jika ada, tolong sampaikan terima kasih ini saat waktu itu tiba. Karena hanya dengan kata tidak cukup untuk mengungkapkan perasaanku.
Dari banyaknya tulisan Sahi, itu salah satu dari ungkapan hatinya.
Melalui tulisan, ungkapan hati Sahi tercurahkan. Yang dirasakan akan ringan saat dikeluarkan. Seketika hati kian melegakan.
Tok, tok!
Sahi berjalan menuju pintu kamarnya. Saat dibuka betapa kagetnya Sahi melihat siapa yang datang. Sahi menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
"Bagaimana kabarmu?" tanya orang itu sambil tersenyum jahat.
"Ma-mau apa Om ke sini?" tanya Sahi, badannya sudah gemetar ketakutan. Dalam hati Sahi berteriak meminta tolong. Berharap ada yang datang dan menyelamatkan dirinya.
"Tentu saja ingin mengambil hak saya."
"Hak apa yang Om maksud?"
"Rumah ini milik saya. Seharusnya ini adalah warisan orang tua saya untuk saya. Bukan Ayah kamu!" bentaknya.
"Ini rumah Ayah, Om. Suratnya pun atas nama Ayah." bela Sahi, pipi mulusnya telah basah oleh air mata.
"Rumah ini memang atas nama Ayah kamu. Tetapi, saya juga berhak mendapatkan bagian dari rumah ini. Saya juga Adiknya. Saya berhak mendapat warisan dari orang tua saya sama halnya seperti Ayah kamu!" lagi-lagi Om Sahi membentak Sahi.
Namanya adalah Eki. Adik dari Ayah Sahi. Umurnya bahkan baru menginjak 22 tahun. Pemuda yang gila harta. Selalu datang untuk mengambil bagian dari rumah Sahi. Padahal jelas ini adalah bagian untuk Ayah Sahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...