Sebenarnya apa yang terjadi? Ketidakhadiranmu membuatnya cemas.
.
.
."Sahiya Farida?" yang dipanggil tidak menyahut sama sekali. Beberapa pasang mata meneliti ke kanan dan ke kiri. Mencari keberadaan Sahi. Namun, tidak ada sama sekali jawaban.
"Sahi nggak ada, Bu." Firza berdiri untuk memberitahu.
"Kenapa Sahi nggak masuk?" tanya guru di hadapannya.
"Saya juga nggak tahu, Bu. Sahi nggak ada kabar." pasalnya Sahi sama sekali tidak memberitahu Firza alasan kenapa dia tidak masuk sekolah hari ini. Tidak biasanya Sahi menghilang tanpa kabar.
Sahi adalah murid yang sangat rajin kalau memang tidak ada masalah atau urusan pribadi yang menjadi kendalanya. Bisa Firza tebak, pasti ada apa-apa. Firza begitu mengenal bagaimana kepribadian Sahi.
"Baiklah, berarti Sahi tidak ada keterangan." putus guru tersebut. Firza mengangguk mengiyakan. Dan duduk di tempat semula.
Pelajaran pun dimulai. Firza merasa kesepian karena tidak ada Sahi. Di kelas memang Firza hanya dekat dengan Sahi.
Perasaan gelisah menggoyahkan titik fokus cowok yang kini sedang memaksa untuk memerhatikan guru yang menjelaskan materi di depan. Pikirannya malah berkeliaran kemana-mana. Haruskah ia menanyakan kemana gadis itu? Atau diam membisu dengan pertanyaan yang menghantuinya?
Bertanya malu, tidak bertanya malah membuatnya penasaran.
Apakah dia lupa? Ada yang berkata bahwa malu bertanya sesat di jalan. Terbukti benar, kalau tidak bertanya ia akan terus menerka dan berakhir tidak sesuai harapan.
"Lo kenapa?" suara bisikan membuyarkan lamunannya. Lalu ia menengok dan mendapati sahabatnya dengan wajah penasaran.
"Saya nggak tahu kenapa jadi nggak tenang kayak gini." jawabnya ikut berbisik, karena takut ketahuan oleh guru. Apalagi kelas begitu hening. Tidak ada yang bersuara sama sekali.
Bukannya menjawab, sahabatnya itu malah tertawa pelan. "Lo mikirin dia?" tebaknya sudah pasti benar. Itu yang memang sedang ada dalam pikiran cowok itu.
"Dia pasti baik-baik aja."
"Kamu tahu darimana?" tanyanya bingung.
"Cuma nebak aja sih, dan semoga benar." jawab sahabatnya santai.
"Saya takut dia ada masalah. Nggak biasanya dia kayak gini." ucapnya khawatir.
"Segitu tahunya lo tentang dia? Sampai kegiatan dia aja lo kayaknya tahu semua."
"Bukan begitu, Gi." elaknya.
"Jangan berpikir yang negatif. Positif thinking aja. Siapa tahu dia ada urusan keluarga." ucap Agi, menepuk pundak Syawal.
"Makasih, kamu–"
"Syawal, Agi! Kenapa kalian bisik-bisik?" tanya Bu Nina galak.
Syawal dan Agi sampai terperanjat. Bu Nina guru yang terkenal tegas. Siapapun tidak ingin membuat masalah dengannya. Karena apa? Karena nilai taruhannya.
"Maaf, Bu." Syawal menundukkan kepala. Sedangkan Agi, bersikap tidak peduli. Ia terlihat santai. Padahal Bu Nina sudah menatapnya tajam. Setajam pisau yang baru saja diasah.
"Agi, keluar kamu!" perintah Bu Nina hanya fokus pada Agi. Ia sudah bosan meladeni murid seperti Agi.
"Baiklah." jawabnya santai. Membuat semua yang ada di kelas ini menganga. Semudah itu?
"Maaf, Bu. Apa saya juga harus keluar?" tanya Syawal polos.
Bu Nina berdecak pelan. "Ya, silahkan kamu keluar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...