"Di tempat lain kita dipertemukan. Apa ini yang dinamakan jodoh?
Jika benar, itulah kebahagiaanku.
Jika bukan, itulah yang terbaik untukku."
.
.
.Dalam lingkup hidupnya Sahi sangat jarang berolahraga. Terakhir kali bisa dibilang saat sekolah dasar. Itupun jika olahraga di sekolah. Saat jalan pagi bahkan bisa dihitung oleh jari. Namun, kali ini dirinya diajak Fatma untuk olahraga pagi mengelilingi bukit. Bukit yang dimaksud di sini adalah lapangan luas dimana ada beberapa rumput menjulang tinggi yang bergelombang. Dan kebetulan hari ini adalah hari minggu, dimana kebanyakan orang akan liburan dan berolahraga setelah menghabiskan aktivitas berat dihari biasanya.
Udara pagi amat mendukung. Sejuk dan cerah cuacanya. Setelah sholat subuh, Sahi memutuskan untuk mengganti mukena dengan pakaian celana training panjang longgar berwarna hitam serta kaus lebar yang panjangnya sebatas lutut. Dipadu dengan kerudung instan panjang sebatas dada. Tanpa polesan make up. Hanya menggunakan sedikit pelembab wajah dan krim tabir surya. Sahi tidak begitu mahir dan suka dalam memakai hal-hal seperti itu. Hanya acara-acara tertentu dia menggunakannya seperti acara perpisahan sekolah dan kepentingan lainnya.
Hembusan angin pagi membangunkan semangat perempuan itu. Menampakkan senyum di depan cermin. Mulai membangkitkan aura senang pagi ini. Setelah semuanya rapi dan baik, Sahi keluar kamar dan hendak berpamitan pada Ibunya. Wajahnya terlihat riang gembira.
Sahi berjalan menuju dapur. Dan ternyata Ibunya sedang memasak. Dari kejauhan saja sudah tercium aroma dari masakan itu. Masakan yang selalu menggugah selera. Masakan yang menjadi pelengkap dalam rumah ini. Masakan yang selalu enak setiap hari dan tidak ada kata bosan dalam mencicipinya.
"Bu," panggil Sahi tepat saat berada di samping Sarah.
Sarah langsung menengok dan tersenyum. "Kenapa, sayang?"
Kemudian menatap Sahi bingung. "Kamu mau kemana? Rapi banget," tanya Sarah lalu kembali fokus pada masakan diwajannya.
"Sahi mau olahraga sama Fatma, Bu. Sekalian cari udara segar." jawab Sahi.
"Kamu sarapan dulu, ya. Ibu udah bikinin roti bakar kesukaan kamu tuh." mata Sahi berbinar mendengar kata roti bakar. Makanan yang sangat Sahi idamkan.
"Makasih, Bu." Sahi antusias sambil mencomot roti bakar di atas meja makan. Ibunya suka membuatkan roti bakar dengan selai cokelat dan sedikit mentega. Hanya roti tawar biasa namun begitu enak, apalagi yang membuatnya adalah seorang wanita cantik penuh kasih sayang. Penuh kesederhanaan namun selalu mengundang kebahagiaan.
"Bu, Sahi berangkat dulu, ya." Sahi segera merapikan kembali mejanya.
"Iya, sayang. Nanti kalau udah pulang kamu harus langsung pulang. Jangan kemana-mana. Ingat, ya!" pesan Sarah.
"Siap, Bu. Sahi juga nggak begitu tau tempat-tempat di sini. Jadi, mana mungkin kan Sahi pergi tanpa Ibu?" ucap Sahi sedikit bergurau. Pasalnya Sahi memang selalu di rumah. Kecuali sekolah. Sekalinya pergi lebih sering bersama Ibunya. Kalau tidak ada hal berkepentingan Sahi memang lebih suka di rumah.
Sarah tertawa pelan. Anak semata wayangnya kini sudah besar dan terlihat dewasa. Walaupun terkadang cuek dan keras kepala. Tidak tega rasanya mengingat kejadian beberapa bulan silam. "Ibu lupa, yaudah kamu berangkat sana. Nanti Fatma nunggunya kelamaan tuh."
Sahi membulatkan matanya. "Emang Fatma udah datang, Bu?"
"Udah dari tadi dia nunggu di teras. Ibu suruh masuk dia nggak mau."
"Kenapa Ibu nggak bilang? Kasihan Fatma nunggu lama." protes Sahi.
"Mana Ibu tau, lagian kamu keasikan ngobrol sih sama Ibu." sanggah Sarah sembari tersenyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...