04. Mulai Berubah

56 9 4
                                    

"Tersenyum di atas masalah bukan berarti melupakan masalah itu. Hanya saja kita meyakinkan pada diri sendiri dan orang lain bahwa kita baik-baik saja. Terlihat baik ketika tumpuan masalah semakin menjadi, pencapaian yang patut diapresiasi."
.
.
.

Begitu tampak keterkejutan wanita paruh baya saat melihat anak gadisnya begitu semangat menyambut pagi yang datang. Senyum tertera di bibirnya. Ada rasa bahagia saat melihat senyuman itu kembali menyapa. Apalagi di pagi yang cerah ini.

Benarkah itu Sahi anaknya? Tatapan haru tertuju pada Sahi pagi ini. Sahi yang sejak tadi keluar kamar mengerutkan keningnya saat melihat Ibunya terpaku di tempat.

"Kenapa, Bu?"

"Benarkah ini Sahi anak Ibu?" tanya wanita itu tidak percaya.

Sahi terkekeh pelan sambil merapikan kerudungnya yang sedikit berantakan. Berjalan menghampiri Ibunya dengan senyum manisnya. Ibunya seperti melihat kembali bunga mekar yang sebelumnya sempat layu. Benar-benar pagi yang bahagia. Sinar matahari ikut menyinari kebahagiaan ini lewat celah-celah jendela.

"Iya, Bu. Ini Sahi anak Ibu. Masa iya anak tetangga." canda Sahi.

Sarah segera memeluk Sahi dengan penuh sayang. Sarah menyalurkan kerinduan setelah kejadian yang merenggut kebahagiaan Sahi.

Sahi sadar, sikapnya selama ini tidak bisa dibenarkan. Tidak seharusnya berlarut dalam kesedihan. Walau masih ada secercah rindu yang hinggap dihatinya. Tidak akan pernah hilang. Rasa rindu yang kian mencuat hingga menjadikan dirinya rapuh. Rindu itu akan selalu menyapa dikala hujan dan kesendirian.

Namun, Sahi mencoba untuk lebih bersikap biasa jika bersama orang lain. Kesedihan hanya dirinya yang merasakan. Tidak boleh ada yang merasakan kesedihan ini. Sebab kekhawatiran seseorang akan membuatnya sakit dan merasa bersalah.

"Kamu udah siap ke sekolah?"

"Udah, Bu. Sahi pamit, ya." Sahi menyalami punggung tangan Sarah dengan lembut.

"Assalamu'alaikum,"

Sarah kembali tersenyum. "Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya, Nak."

Sahi mengangguk pelan. Ia berjalan dengan langkah perlahan. Dalam senyumnya ada harapan di dalam hati yang terus saja terucap.

Semoga aku bisa menyemangati diri ini. Rindu itu akan selalu tersimpan dalam benakku. Dan sekarang waktunya bangkit dan tersenyum menatap kenyataan di depan.

Ciptaan Allah begitu memesona dan menyegarkan mata di depan sana. Banyak burung yang berterbangan, hijaunya dedaunan pohon, tetesan air di atas rumput, dan embun yang menghiasi udara pagi hari. Matahari tampak malu-malu menonjolkan dirinya, masih bersembunyi dibalik pepohonan yang menjulang tinggi itu. Udara sejuk belum sama sekali terkontaminasi debu dan asap kendaraan.

Langkah kaki menikmati perjalanan Sahi hingga sampai pada jalan yang dipenuhi kendaraan. Menunggu sebuah angkutan umum yang menjadi kendaraan favorit Sahi setiap hari. Kesederhanaan mampu membuat kebahagiaan selalu terkenang. Dalam hidup, memang tidak ada yang perlu dipaksakan. Jika tidak bisa, buat apa dipaksakan? Hidup ada kalanya harus apa adanya. Tidak berlagak berlebihan apalagi memaksakan untuk kesenangan duniawi.

"Berhenti, Pak!" ucap Sahi saat sudah berada di depan gerbang sekolahnya.

Angkutan umum pun berhenti dan Sahi memberikan uang untuk membayar tumpangannya. "Makasih," ucap Sahi tersenyum samar.

Sopir angkutan umum mengangguk dan membalas senyum Sahi. "Iya, Kak."

Hari ini akan menjadi awal untuk menata apa yang sudah berantakan. Semoga perlahan rindu ini bisa terobati, walau tidak akan pernah bisa hilang. Sahi tersenyum melihat gerbang sekolah.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang