15. Kekhawatiran

22 2 0
                                    

Khawatir? Mungkin hanya rasa peduli satu sama lain.
.
.
.

"Sah, kamu tahu nggak tadi aku ketemu sama siapa?" Firza mulai heboh saat masuk ke dalam kamar Sahi. Firza sampai terburu-buru karena ingin bercerita dan menyampaikan salam dari orang tersebut untuk Sahi.

Dahi Sahi mengkerut. "Siapa?"

"Tadi di jalan aku ketemu sama Wahyu!" pekik Firza.

Sahi sampai menutup telinganya karena suara nyaring Firza. "Astaghfirullah. Suaranya, Za." Firza menyengir menanggapi Sahi.

"Terus kenapa kalau kamu ketemu sama dia?" tanya Sahi penasaran.

"Dia ngucap salam buat kamu."

"Wa'alaikumussalam." jawab Sahi.

"Tapi, aku sedikit nggak tega sama dia, Sah. Sekilas aku lihat wajahnya pucat dan kayaknya dia lagi sakit deh." Firza merasa kasihan melihat cowok yang ia temui di jalan dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Kayaknya dia kecapekan. Aku lihat-lihat juga dia kayak habis pulang kerja gitu." lanjut Firza kembali membuat Sahi diam berpikir.

Setelah mengucapkan itu Firza malah membanting badannya ke atas kasur. Walaupun sederhana, namun membuat Firza nyaman. Sampai matanya terpejam menikmati kehangatan.

Info dari Firza menyisakan tanda tanya untuk Sahi. Ingin rasanya bertanya banyak tentang orang itu. Namun, Sahi tidak mau Firza salah paham. Rasa khawatir mungkin hanya sebagai rasa simpati pada sesama makhluk. Tidak lebih.

"Aku sebenarnya mau bantu antar dia pulang, Sah. Tapi, kan kita bukan mahram. Jadi nggak boleh terlalu dekat, ya?" ucap Firza dengan mata terpejam.

Sahi tidak menjawab melainkan ikut berbaring di samping Firza. "Dia kayaknya sakit ya, Za?" tanya Sahi setengah berbisik. Untung saja Firza mendengar.

"Kayaknya sih iya, soalnya aku lihat muka dia pucat." jawab Firza meringis.

Seutas senyum jahil muncul. "Kenapa? Khawatir, ya?" goda Firza memainkan kedua alisnya.

"Rasa kemanusiaan, Za."

"Kalau khawatir karena yang lain juga nggak apa-apa, Sah. Nggak ada yang larang." lagi-lagi Firza menggoda Sahi. Sahi hanya diam mendengarkan.

"Wahyu serius sama kamu. Emangnya kamu nggak mau terima ajakan ta'arufnya? Siapa tahu dia jodoh yang dikirim sama Allah buat kamu." sambung Firza menatap Sahi dari samping.

Tangan Sahi melayang ke pipi Firza. Menepuknya dengan pelan. Dan tersenyum setelahnya.

"Aku belum punya keputusan untuk itu, Za. Masih ada keraguan dihati ini."

"Aku ingin memperbaiki diri dulu karena Allah. Aku ingin mendekatkan diri kepada Allah, soal jodoh nggak akan kemana. Aku harus meyakinkan diriku untuk memperbaiki diri karena Allah bukan semata-mata hanya ingin mendapat lelaki sholeh. Istiqomah tidak semudah yang orang lain pikirkan, Za. Kita harus melawan godaan dunia yang melalaikan dan harus berusaha memperdalam ilmu agama agar iman tidak goyah. Terkadang imanku juga naik-turun." lanjut Sahi, senyumnya mengembang tipis.

Firza terenyuh mendengar penjelasan Sahi. Firza juga masih harus memperbaiki diri lebih baik lagi. Menjaga lisan dan menjaga pandangan mata dari hal yang tidak baik. Benar kata Sahi. Istiqomah tak semudah yang orang lain pikirkan. Firza merasakan hal itu.

Banyak godaan duniawi yang menggiurkan namun menyesatkan. Salah satunya yang dapat mengundang kemaksiatan adalah pacaran. Berduaan dengan yang bukan mahram, bersentuhan seolah tidak takut akan murka Allah, berpelukan, hingga melakukan hal yang tidak seharusnya.

Rindu yang Tak Berujung (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang