Berharap apa yang diucapkan bukanlah candaan semata.
.
.
.Sahi mendudukkan dirinya di atas sofa. Rasa lelah datang pada tubuhnya. Badannya sakit semua. Apa efek semalam masih ada? Mungkin saja.
Matanya terpejam meresapi kenyamanan di atas sofa. Pulang sekolah biasanya dia akan beristirahat di kamar. Namun, saat ini dia enggan pergi ke kamarnya. Mungkin butuh istirahat sejenak.
Keinginan ingin mengeluh sudah pasti ada. Begitulah sifatnya manusia. Ayo, lihat. Tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri. Kekurangan bukan untuk penghalang bagi seorang yang ingin meraih kemakmuran. Kelebihan, patut disyukuri. Belum tentu mereka yang hidupnya tampak sempurna, tidak memiliki kekurangan. Nyatanya, kesempurnaan ada ketika masing-masing kekurangan bisa saling melengkapi.
Baru saja Sahi ingin pergi ke alam mimpi, tetapi suara ketukan pintu membangunkannya. Sahi langsung membukakan pintu. Saat melihat orangnya, Sahi kaget.
"Assalamu'alaikum," ucap orang tersebut.
"Wa'alaikumussalam. Mau apa kamu ke sini?" ucap Sahi bingung sekaligus tidak habis pikir. Darimana orang ini tahu rumahnya? Itu yang menjadi pertanyaan Sahi.
Bukannya menjawab orang itu malah tersenyum menatap Sahi.
"Ada apa? Kalau nggak ada yang penting silahkan pergi." Sahi tidak tanggung-tanggung mempersilahkan orang itu untuk pergi. Dia tidak mau ada yang salah paham nantinya. Apalagi di rumah hanya ada ia seorang.
"Tunggu sebentar." cegahnya.
"Tadi di sekolah aku udah bilang sama kamu, bidadari." lanjutnya kemudian.
"Bilang apa?" tanya Sahi tidak paham.
"Mau ajak ta'aruf."
Mata Sahi membola. "Astaghfirullah, kamu ini apa-apaan sih?"
Sebenarnya Sahi tidak pernah berpikiran untuk menolak dengan keras saat ada seseorang yang akan berkata serius. Namun, entah kenapa saat ini dirinya tidak nyaman dengan kata-kata itu. Lebih tepatnya diucapkan olehnya.
"Kenapa? Nggak mau, ya?" tanyanya sedikit takut.
"Lebih baik kamu pulang. Nggak baik kalau kita berduaan di sini." kata Sahi mencoba sesopan mungkin.
"Di rumah cuma ada kamu?"
"Iya, makanya kamu pulang."
Cowok itu menghembuskan nafas pelan. "Baiklah, sampai bertemu kembali..." jedanya, kemudian tersenyum jahil. "di pelaminan." lanjutnya.
"Terserah." jawab Sahi jengah.
"Assalamu'alaikum, bidadari."
"Wa'alaikumussalam." segera Sahi masuk dan menutup pintu. Dia tidak mau terus-terusan berhadapan dengan cowok itu. Apalagi di rumah sepi tidak ada siapa-siapa. Takutnya nanti ada kesalahpahaman.
Setelah Sahi masuk, cowok itu belum benar-benar pulang. Dia masih setia menatap pintu rumah Sahi sambil tersenyum lebar.
Kamu cantik dengan pakaian tertutupmu. Aku kagum. Kamu wanita yang penuh keistimewaan.
Wanita sepertimu sangat sulit untuk dicari. Kalau boleh egois, aku ingin segera memilikimu. Tapi, apa itu bisa?
〰️〰️〰️
"Sahi, boleh Ibu bicara sebentar?" tanya Meta ketika sedang fokus mengaduk panci berisi kuah berwarna coklat. Malam yang terasa dingin lebih enak jika membuat makanan hangat.
Meta sedang membuat bubur kacang hijau. Cocok disajikan ketika cuaca dingin seperti sekarang ini.
Wangi kuah bercampur santan dan gula merah itu sampai ke indra penciuman Sahi. Wanginya saja sudah enak, apalagi rasanya? Sudah pasti lebih enak.
"Bicara apa, Bu?"
"Ibu mau tanya sama kamu, apa kamu punya teman cowok?" Sahi menaikkan sebelah alisnya, bingung.
"Tadi di tempat kerja ada cowok yang datang ke Ibu. Katanya dia minta restu buat ajak kamu ta'aruf." seolah paham dengan ekspresi sang anak, Meta melanjutkan ucapannya.
Sahi paham kemana arah pembicaraan ini. "Terus Ibu jawab apa?" tanya Sahi khawatir.
"Ya, Ibu jawab kalau itu tanyain aja langsung sama kamu." ada kelegaan dihati Sahi saat mendengar jawaban Ibunya untuk cowok nekat itu.
"Emang dia siapa? Kamu kenal?"
"Namanya Wahyu, Bu. Dia emang sering kayak gitu ke Sahi. Tiba-tiba ngajak ta'aruf terus." jawab Sahi mengeluh, sebenarnya Sahi juga malu bercerita mengenai hal ini.
"Kamu jawab apa?"
"Sahi risih, Bu. Nggak tahu harus jawab apa." Sahi menjawab jujur. Memang dirinya sedikit risih berdekatan dengan Wahyu.
"Lebih baik kamu sholat dan meminta petunjuk kepada Allah. Jika memang dia jodohmu pasti akan dilancarkan." Meta memandang Sahi sambil mengelus kepala Sahi yang berbalut kain kerudung.
Sahi mengangguk paham.
• • •
Jam menunjukkan pukul 02.15. Berdering alarm yang terpasang di jam segitu.
Sahi terbangun. Dalam gelap gulita di langit pagi, angin tergerak berlawanan arah, yang mana manusia yang tertidur pulas akan lebih erat menarik selimut karena dinginnya cuaca pagi. Suara melengking dari kokok ayam terdengar sesaat.
Sahi menggerakan kakinya menuju kamar mandi, hendak mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Sholat sunah yang betul-betul dianjurkan karena waktu yang tepat untuk meminta do'a-do'a hamba kepada Sang Pencipta. Sahi terbiasa melaksanakan sholat sunah ini. Menundukkan kepala bahwa apa yang selama ini kita punya bukanlah apa-apa. Hanya butiran-butiran debu yang bisa lebur kapan saja jika kita meninggikan apa yang kita punya dan lupa dengan siapa Pemiliknya.
Setelah melaksanakan sholat tahajud, hati yang rasanya resah ikut terseret ketenangan. Terdiam sesaat, Sahi mulai memikirkan tentang ajakan Wahyu. Dia bimbang juga tidak mengerti, apakah Wahyu serius atau hanya lelucon semata?
Kebingungan melanda diri. Bingung harus menanggapi seperti apa. Disisi lain Sahi percaya kepada Allah bahwa apapun terjadi pasti ada maksud baiknya.
Kenapa dia nekat banget? Sampai menemui Ibu di tempat kerja. Apakah Wahyu seserius itu ingin mengajak nikah?
Dalam hatinya, ada rentetan pertanyaan yang masih terselip. Ada pertanyaan belum juga mendapat titik terangnya.
〰️〰️〰️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu yang Tak Berujung (Selesai)
SpiritualSeperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Terus memutar dan kembali ke titik awal dimana kita berhasil melewatinya. Namun, akan tetap berjalan di tempat yang sama. Remaja yang masih bergelung dalam impian sebagai pelajar. Kerinduan pada seseorang ya...