Aku Tidak Tahu

22 1 0
                                    

Tafsir Surah Ali Imran ayat 18 yang berbunyi : "Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, seorang pakar tafsir abad 14 H bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan orang-orang yang berilmu. Mereka adalah para nabi dan Rasul, ulama dan atau orang-orang berilmu lainnya dari kalangan orang-orang mukmin.

Allah memilih orang-orang dari kalangan orang-orang yang berilmu atau ulama untuk menjelaskan konsep Rububiyyah Allah, merekomendasikan (tazkiyah) bahwa ulama merupakan rujukan untuk solusi permasalahan terutama permasalahan agama, prestis, tauhid, tentang manusia dan lain sebagainya. Serta Allah menjadikan ulama sebagai hujjah (referensi) karena mereka adalah orang-orang yang terpercaya lagi ta'dil (penyebutan sebagai orang adil).

Maka, para ulama memiliki kapasitas melakukan ijtihad dan atau fatwa atas perkara-perkara yang bermunculan demi menjawab tuntutan realitas yang tengah dihadapi kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Kelebihan orang berilmu atas orang beribadah seperti kelebihan rembulan di malam purnama atas bintang-bintang yang lain.” (HR. Abu Naumi dari Muadz bin Jabal). 

Bagi mereka yang punya kompetensi dan kapasitas untuk berfatwa, mereka dianjurkan untuk berfatwa meski pada persoalan-persoalan yang tidak mendesak untuk dijawab.

Namun nyatanya di era ini, euforia berfatwa itu, dijadikan dalih untuk menyatakan sesuatu diluar ranah kapasitasnya. Seolah-olah fatwa itu berhak dinyatakan siapapun dan semua jawaban yang mengatas namakan sebagai sebuah solusi dari setiap pertanyaan manusia harus terjawab sepenuhnya oleh seseorang yang bahkan tidak punya kapasitas ilmu didalamnya.

Ada pula diantaranya menjadi fanatik buta atas pendapatnya dan menjadi kontradiksi dengan kekritisan yang disampaikan.

Padahal, sekelas Imam Al-Qurthubi saja yang merupakan salah seorang ulama salaf terkemuka di bidang tafsir, fikih, dan hadis, serta bermazhab Sunni-Maliki, tapi, beliau tidak ta'assub (fanatik) dengan mazhab Malikinya. Sebaliknya, Imam Al-Qurthubi terbuka dalam tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat lawan debatnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkatnya dan ilmu syariat.

Abdullah bin Mas'ud pun pernah berkata : “Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu, maka haruslah ia berkata dengan ilmunya tersebut, dan barangsiapa yang tidak berilmu (tidak melihat), maka dilihatlah ia berkata Allahu A'lam (Allahlah yang lebih dilihat) karena merupakan ilmu seseorang. Allahu A'lam tentang perkara yang ia tidak melihat ilmunya”. (Atsar riwayat Al-Bukhori dalam shahihnya 4/1809 no 4531).

Beliau juga berkata : "Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan, maka ia adalah orang gila." (Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu'jam Al-Kabir 9/188 no 8923, menyatakan Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” [Majma 'Az-Zawaid 1/183] dan juga Al-Baihaqi dalam Al- Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/432, dan perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas seseorang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433).

Maka, setiap muslim yang tidak punya kapasitas untuk berbicara terutama perihal-perihal hukum agama, maka hendaknya belajar untuk mengatakan “Aku tidak tahu”. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nahl ayat 116, agar tidak menyebabkan secara tidak langsung ia berdusta atas nama Allah dalam menghukumi suatu perkara.

Kita bisa meneladani kisah dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu kiranya cukup untuk membuat kita segera membungkam lisan dari perkara yang tidak diketahui kebenarannya.

Ruang SemangatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang