36. Luka tak Bertepi

1.7K 146 12
                                    

Happy reading :)

🍃🍃🍃

Menyendiri menjadi hobi Ocha akhir-akhir ini. Terlebih di halaman belakang rumahnya. Ocha ingat, semasa mamanya masih hidup, mereka sering menghabiskan waktu berdua di halaman belakang ini. Entah sekedar berjemur, atau hanya mengobrol ringan.

Ocha memeluk lututnya yang tertekuk. Dagunya bertumpu dengan mata yang memperhatikan daun-daun kering yang jatuh dari pohon.

"Ocha rindu, Mam."

Padahal belum genap seminggu setelah kepergian mamanya, tapi perasaan rindu itu sudah menggebu. Selama ini sosok sang mama lah yang menjadi temannya, apalagi mengingat sikap Nathan yang dulu sangat sinis sekali terhadapnya. Beruntung setelah insiden di taman waktu itu, Nathan banyak berubah. Terlihat lebih manusiawi sedikit.

Sekarang, tak ada lagi mamanya yang akan menghiburnya saat Nathan berlaku jahat padanya. Tak ada mamanya yang akan siap berdiri paling depan membelanya. Tak ada senyum teduh mamanya yang mampu memberi semangat di tengah masalah yang sedang dihadapi. Ocha sudah kehilangan semua orang yang dulu ia jadikan sandaran saat merasa sedih.

"Ocha?" panggil Laras. "Ada teman-teman datang. Temuin bentar, yuk?"

"Sampaikan terima kasih buat mereka, jangan lupa maaf juga karena Ocha nggak bisa nemuin."

"Ta--"

"Biar gue aja," potong Mario yang baru saja datang. Cowok itu berkongkok di bawah Ocha.

"Cha? Masih belum reda ya berdukanya?" Mario menarik lepas tangan Ocha yang memeluk lutut, beralih menggenggamnya. "Sedih itu wajar. Kehilangan orang tua memang patah hati terberat untuk kita yang ngalamin. Tapi, Cha? Nggak kasihan sama Mama lo yang ngeliat anak gadisnya sedih pas ditinggalin?

"Lo harus kuat, kayak Kakak lo. Gue tahu aslinya Kakak lo sama sedihnya seperti yang lo alami sekarang, tapi hebatnya dia bisa nutupin itu semua. Dia harus kuat karena masih ada lo yang perlu dikuatin. Harusnya kalian sama-sama saling menguatkan. Jadi, udahan ya sedihnya? Masih ada Kakak lo yang juga butuh kehadiran lo buat nguatin dia."

Yang dikatakan Mario benar. Masih ada Nathan yang juga sama terluka seperti dirinya. Harusnya Ocha bisa bangkit dan saling menguatkan dengan Nathan karena saat ini hanya Nathan lah keluarga yang Ocha punya.

"Iya, Kak."

Senyum Mario terkembang. "Gimana? Mau nemuin teman-teman? Mereka ke sini juga untuk menghibur lo supaya nggak larut dalam perasaan berduka."

Ocha mengangguk dan Mario menarik Ocha berdiri. Diusapnya air mata Ocha yang berkumpul di sudut mata membentuk genangan kecil.

"Jangan sedih lagi. Masih banyak yang sayang sama lo."

Lagi, Ocha mengangguk, merentangkan tangan dan memeluk Mario. Tubuh Mario menegang sejenak akibat pelukan tiba-tiba itu, tapi kemudian ia merilekskan diri dan membalas pelukan Ocha. Tangannya mengelus punggung Ocha dengan penuh kelembutan. Tanpa ada dari mereka yang menyadari bahwa ada sosok lain yang melihat semua itu dengan hati yang seperti disayat sembilu.

Bara memperhatikan bagaimana Mario mencoba membujuk Ocha. Semua itu tak luput dari penglihatannya. Satu sisi Bara merasa senang karena banyak yang menyayangi gadis itu. Namun, jauh dalam lubuk hatinya ada semacam perasaan tak rela ketika orang lain terlebih makhluk berjenis kelamin lelaki mendekati Ocha.

Egois, bukan? Saat dirinya dengan bebas melukai hati Ocha, ia juga yang tak rela Ocha bersama dengan yang lain. Katakanlah dirinya memang cowok sialan. Mungkin takdir mereka memang cukup sampai di sini. Jika mereka tetap memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, yang ada hanyalah luka karena mereka akan saling menyakiti satu sama lain.

Love in Demo [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang