Prolog

7K 321 7
                                    

Ocha tertawa ngakak saat melihat salah satu personel BTS, yakni Jimin, berjoget begitu lucu. Tangannya terulur meraih ponsel yang berdering di samping laptop, masih dengan mata yang fokus menatap si Bias.

"Halo," ujarnya ketika menjawab panggilan.

"Belum tidur?" tanya suara dari seberang.

"Belum, hihihi ... "

"Kenapa ketawa?"

"Ini Ocha lagi liat Jimin, lucu banget."

Terdengar suara deheman dari seberang. Ocha masih mendengarkan meskipun fokusnya terbagi dengan sosok Jimin yang begitu menggemaskan.

"Cha? Besok aku mau turun ke jalan."

"Emang Bara mau main paralayang ya? Kok turun di jalan?"

"Bukan turun begitu maksud aku."

Ocha bangkit dari posisi rebahannya. Tangannya menekan tombol spasi pada keyboard membuat video yang tadi menampilkan Jimin serta kawan-kawan menjadi berhenti.

"Aku besok mau demo."

"Hah?" Ocha merasa bingung. "Demo apa?"

"Ya demo."

"Enggak! Ocha nggak ijinin!" ucap Ocha tegas. Nada suaranya juga sedikit naik karena beberapa alasan. Di benak Ocha, saat kata demo terucap, hanya akan ada efek negatif. Anarkisme, brutal, rusuh, dll.

"Aku wajib ikut, Cha," jelas si penelepon. "Aku ketua BEM, presiden mahasiswa, lupa kamu?"

Ocha meremas bantal yang ada di pangkuannya. "Tapi Ocha nggak ngizinin Bara buat ikut. Bahaya. Nanti Bara luka, nanti Bara ketangkap polisi, nanti Bara--"

"Cha ... " ucap Bara di seberang menghentikan ocehan Ocha. "Nggak akan seburuk itu. Demo ini juga buat memperjuangkan hak-hak kita semua sebagai negara yang demokrasi."

"Enggak, enggak." Ocha menggeleng, meskipun Bara tak bisa melihatnya. "Ocha tetep nggak mau Bara turun ke jalan, biar yang lain aja, Bara jangan."

"Semua mahasiswa ikut, Cha. Apalagi aku yang ketua BEM. Aku wajib ikut."

"Kalau gitu Ocha juga ikut!" kata Ocha. "Ocha 'kan juga mahasiswa."

Ocha meringis dalam hati. Padahal dia mahasiswa baru di tahun ajaran baru kali ini. Dia semester satu, sedangkan Bara sudah semester lima.

"Bara, Ocha mau ikut demo juga."

"Kamu cewek, Cha."

"Terus kenapa memang? Apa Ocha harus berubah jadi cowok dulu baru bisa ikut demo?" tanya Ocha sarkas. "Bara nanti jadi cowok suka cowok dong kalau gitu."

Di seberang sana Bara mendesah panjang. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Ocha yang terkadang suka lemot. Untung sayang, kalau tidak sudah Bara buang. Eh!!!

"Bara?" panggil Ocha. Sesaat Ocha menjauhkan ponsel dari sebelah telinga untuk mengecek apakah sambungan telepon terputus. "Bara? Ocha juga ikut boleh ya?"

"Nggak!"

"Kenapa? Kok Bara nggak adil sih? Ocha mau ikut juga pokoknya, titik."

"Kamu itu nggak bisa kena panas dikit, Cha. Kulit kamu rentan."

"Bara mau bilang kalau Ocha anak Albino?" tanya Ocha dengan nada sendu. Kedua bola mata Ocha bahkan sudah berkaca-kaca.

"Bara?" Ocha memanggil saat Bara kembali diam. "Ocha bisa pakai hoodie. Nanti bawa payung juga, pakai masker, bawa pasta gigi juga--"

"No means no!"

"Bara egois! Bara mau demo tapi Ocha gak boleh demo juga. Ocha benci Bara. Kalau Ocha tetep gak boleh ikut demo tapi Bara tetep ngeyel mau demo, mending kita udahan aja. Ocha minta putus."

"Oke, kita putus, tapi jangan sampe aku ngeliat kamu join di jalanan besok! Inget, ini kamu yang minta, bukan aku."

Tut ... tut ... tut .... Panggilan itu terputus bersamaan luruhnya air mata Ocha. Ocha tidak menyangka bahwa ancamannya diiyakan begitu saja oleh Bara. Hanya karena perkara demo, jalinan kisah asmara keduanya harus kandas begitu saja.

🍃🍃🍃

First published on November 1st, 2020

See ya, velable

Love in Demo [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang