15. Pengaruh Obat Sialan

1.9K 125 8
                                    

Happy reading :)

🍃🍃🍃

Setiap hari Minggu pagi Ocha selalu menemani Mamanya berjemur di halaman rumah. Ocha sebisa mungkin menyempatkan waktu untuk menghabiskan momen bersama sang mama tercinta. Kesibukan yang mulai merayap setelah nama Ocha dikenal banyak orang membuat gadis berambut sebahu itu jarang bersua dengan Mamanya. Maka di sinilah Ocha sekarang, bersama Mamanya menantang sinar matahari pagi yang sangat baik untuk kesehatan.

"Mam, Ocha mau cerita deh."

Ocha duduk berjongkok di depan kursi roda Mamanya. Tangannya menggenggam lembut milik sang mama. Ocha juga memberikan senyum hangatnya agar sang mama memiliki energi positif di pagi hari.

"Jadi tuh, akhir-akhir ini Ocha selalu dapet kiriman buket bunga. Anehnya, gak ada nama pengirimnya. Kira-kira siapa ya, Mam, yang ngirim itu?"

Mulut Mama Ocha terbuka dan dengan susah payah mulai mencoba merangkai kata. Meskipun sudah bisa bicara sedikit demi sedikit, namun tentu belum bisa lancar dibandingkan saat ia masih sehat seperti dulu.

"B--Bara?" ucap Mama Ocha setelah berusaha.

"Sayangnya bukan, Mam. Bara selalu ngasih nama kok kalau ngirim sesuatu."

"Lagi pula Ocha dan Bara lagi jaga jarak sekarang," lanjut Ocha di dalam hati.

Ekspresi Mama Ocha terlihat seperti orang yang sedang mengira-ngira. Kedua alisnya menyatu dengan kerutan di area dahi.

"Mama nggak usah khawatir. Siapa pun itu, pasti dia orang baik."

Di sisi lain, Laras yang hari ini setelah berjalan-jalan mencari sarapan pagi menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Ocha. Sekantong plastik besar ia tenteng sebelum turun dari mobil dan mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, Ocha ... ooo, Ocha," teriak Laras selayaknya Upin & Ipin yang memanggil Atok Dalang. Gadis itu tertawa pelan saat melakukan aksi konyol tersebut.

"Ocha ... ooo Ocha," sambung Laras begitu belum ada yang membukakan pintu. "Ichi O--"

"Berisik, elah!!!"

Bukan Ocha yang membukakan pintu, namun seekor Nathan yang muncul dengan muka bantalnya. Laras menelan ludah susah payah saat melihat tampilan kakak Ocha. Pasalnya muka bantal Nathan terlihat lebih menawan dibandingkan saat-saat biasanya.

"Orang salam itu dijawab yang baik, Mas!" ujar Laras menyindir Nathan. Setelahnya, Laras menggeser tubuh Nathan dan berlalu masuk begitu saja. Lagi pula ini kan rumah Ocha, sahabatnya sendiri.

"Gak ada akhlak memang."

Sementara itu Laras menyusuri tiap-tiap ruang sampai ke dapur. Ia meletakkan bungkusan yang dibawa ke atas meja makan. Diliriknya Nathan yang ternyata mengekori di belakang. Lelaki itu sesekali tampak menguap dan mengucek mata.

"Mas, Ocha di mana?"

Nathan tersedak hingga terbatuk saat mendengar pertanyaan dari Laras. Nyawanya yang tadi belum terkumpul sempurna kini berangsur kembali pada raganya.

"Eh, pelan-pelan dong minumnya. Santai, woles, woles ...."

"Sialan!"

"Ketemu situ di pagi-pagi begini lebih bikin gue sial kali," gumam Laras. Bibirnya berkomat-kamit seperti orang yang sedang melafalkan sebuah mantra.

"Gue denger."

"Ya syukur deh. Itu berarti kuping lo masih normal."

Laras merogoh ponsel berniat menghubungi Ocha. Setidaknya ia memberi tahu kepada Ocha kalau saat ini sedang berada di rumahnya. Kali saja Ocha memang sedang ada acara off air di suatu tempat sehingga pagi-pagi begini sudah tak ada di rumah. Namun, belum sempat melakukan panggilan, Laras melihat Ocha mendorong kursi roda Mamanya dari pintu yang menghubungkan ke halaman belakang.

Love in Demo [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang