04. Balikan

3.4K 178 2
                                    

Happy reading :)

🍃🍃🍃

Empat bulan yang lalu.

Ocha tahu bahwa dirinya terkadang tak bisa menahan diri untuk menyuarakan apa yang sedang dirasa dan dipikir. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, di mana Ocha dengan tanpa rasa gengsi menanyakan kepada Bara apakah cowok itu bersedia menjadi pacarnya atau tidak.

Malu? Ya, Ocha masih punya rasa malu. Tapi, sekarang bukan jamannya lagi menunggu cowok nembak. Memang salah kalau cewek yang nembak duluan? Banyak kasus di mana cewek lebih memilih diam menunggu sampai si cowok sadar bahwa cewek tersebut memendam rasa. Hasilnya? Cintanya bertepuk sebelah tangan. Bukannya jadian dengannya, si cowok justru menggandeng cewek lain. Kalau sudah begitu, nyesek sendiri 'kan?

Rasa itu berawal ketika hari kedua OSPEK dilaksanakan. Waktu istirahat tiba-tiba suasana kampus menjadi ricuh. Penyebabnya dikarenakan para mahasiswa semester akhir melakukan aksi demo kepada rektor bahwa jumlah kuota mahasiswa yang akan diwisuda harus dibatasi. Mereka tentu berontak. Di saat perjuangan mereka begitu susah hanya demi sebuah gelar, hal itu justru terhambat karena adanya pembatasan tersebut.

Ocha yang sedang berjalan hendak menuju kantin justru terjebak di tengah kondisi yang kacau. Para mahasiswa berbondong-bondong membawa spanduk, banner, bahkan membakar ban hanya untuk menambah suasana semakin tak kondusif.

Penampilan Ocha yang mencolok--khas mahasiswa OSPEK--membuat seseorang menyadari hal itu. Dia menarik Ocha di tengah hiruk pikuk tersebut dan mencarikan tempat yang jauh lebih aman.

"Minum dulu," ucapnya sembari mengulurkan botol air mineral.

Ocha yang tengah terbatuk tanpa henti karena sesak napas, menerima dan menenggak dengan rakus. Napasnya semakin berangsur normal. Ocha membenarkan kacamata lalu menatap sosok yang berdiri menjulang di depannya.

"Makasih, Kak."

Ocha mengatur deru napasnya dan deru jantung yang entah kenapa berdetak tak seperti biasa. Apakah itu semacam adrenalin karena tadi sempat terjebak di antara para mahasiswa yang sedang anarkis?Entah. Ocha pun tak bisa menebak penyebab kenapa jantungnya berdegup kian tak beraturan.

Kepala Ocha refleks mundur saat sebuah tangan hinggap pada dahinya. Ocha tertegun, membeku, dan mematung di tempat. Sebuah plester mendarat dengan sempurna di dahinya. Ocha bahkan tak sadar jika bagian tubuhnya itu terluka dan perlu diperban.

"Mmm, makasih, Kak."

Cowok itu mengangguk lantas berlalu menuju tempat tadi. Ocha memperhatikan dari jauh. Bagaimana ketika sosok itu mulai mendamaikan para mahasiswa. Bagaimana sosok itu bersikap netral dan tidak memihak mana pun. Ocha merasa tersentuh. Dan Ocha tahu, bahwa rasa itu bermula dari kekagumannya atas sikap gentleman dari ketua BEM itu.

🍃🍃🍃

Ocha berjalan membuka pintu rumahnya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Hujan kembali turun dengan derasnya dan tubuh Ocha sudah tak mampu menolerir rasa dingin itu lebih lama.

"Ocha! Ocha kehujanan?!"

Mama Ocha datang menghampiri dengan raut cemas yang kentara. Bahkan majalah yang sejak tadi dibaca, dilempar begitu saja ketika mendengar derap langkah kaki.

"Ya ampun, kok bisa sampe kehujanan gini sih, Sayang?"

"Ocha gak pa-pa kok, Mam, cuma kedinginan aja."

Ocha dituntun Mamanya menuju kamarnya. Saat melintasi meja makan, sosok kakaknya sedang berada di sana.

"Hai, Kak," sapa Ocha. Yang disapa bukannya menjawab namun melengos.

Love in Demo [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang