24. Dua Pilihan

1.4K 106 19
                                    

Happy reading :)

🍃🍃🍃

Melihat Dokter diikuti seorang perawat dibelakangnya membuat Bara segera bangkit berdiri lalu menghampiri dengan jantung yang bertalu kencang.

"Dok, gimana hasilnya?" tanya Bara tanpa basa-basi.

"Anda tidak perlu khawatir. Pasien hanya kelelahan. Efek di awal-awal kehamilan memang sudah umum seperti itu. Untuk ke depannya, tolong dijaga dan diawasi agar pasien tidak terlalu stres. Saya permisi," pamit Dokter sebelum berlalu.

Bara merasa tercekat hingga tubuhnya menabrak dinding di belakangnya. Penjelasan tadi masih berdengung di telinganya. Hamil? Sandra hamil? Benarkah? Apa ini hanya prank semata? Atau hanya mimpi di salah satu tidur lelapnya? Tidak. Semua ini nyata. Buktinya ketika Bara kembali membuka mata, kondisi masih tetap sama seperti ia belum memejamkan mata. Dengan langkah berat, Bara berjalan untuk memasuki ruang perawatan Sandra.

Bara menatap Sandra yang masih belum sadarkan diri. Telapak tangannya meraih milik Sandra yang terbebas dari selang infus. Telapak tangan itu terasa dingin. Kontras dengan telapak tangannya sendiri. Bara meremas telapak tangan itu dan menempelkannya di dahi.

"Bara?"

Bara mengerjap dan mengangkat kepala. Sandra ternyata sudah membuka mata dengan tatapan lemah dan suara lirih menyapa.

"Kenapa aku di rumah sakit?"

"Bara?" Sandra memanggil lagi ketika cowok di sampingnya hanya membisu dan menatapnya saja. "Aku sakit apa?"

"San," ucap Bara. Bara merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya ketika akan membuka suara. Bara ingin bungkam. Namun tak mungkin ia merahasiakan ini dari Sandra. Bagaimana pun, cewek ini harus tahu. Dan Bara di sini yang harus berkewajiban memberi tahunya.

"Aku kenapa, Bar?"

"Lo," Bara menunduk dan memejamkan mata, "hamil."

"Ya?!" kaget Sandra. "Apa, Bar? Bisa diulangi?"

"You're pregnant, San. Is it clear?"

Sandra menarik telapak tangannya dari Bara untuk membekap mulutnya yang menganga akibat syok. Tanpa komando, cairan bening keluar dari sudut matanya. Ia tak menyangka. Takdir gila macam apa lagi kali ini? Tidak cukupkah yang telah diterimanya? Kenapa sekarang justru bertambah? Satu beban belum terangkat, kini pundaknya sudah ditimpahi beban lainnya yang jauh lebih berat.

"San," panggil Bara. Kepala Bara masih tertunduk menatap ubin yang berwarna putih tulang. "Siapa?"

Hening. Hanya suara napas Sandra yang menderu serta mesin pendingin ruangan yang terdengar.

"Siapa, San?" tanya Bara geram. Nada bicaranya terdengar menuntut.

"Rion?" tebak Bara ketika Sandra tak merespon. "Bener Rion, San???"

"Bar, aku--aku --"

"Tiga minggu. Usia kandungan lo tiga minggu. Bener itu anak Rion?"

Sandra mulai tergugu. "B-bara, aku mesti gimana?"

"Astaga." Bara meremas rambutnya kuat, demi melampiaskan emosi yang tak tahu harus ditujukan kepada siapa. "Kenapa kalian setolol ini sih?!" teriak Bara dengan mata nyalang ke arah Sandra. Memangnya ke arah siapa lagi jika di ruangan itu hanya ada Bara dan Sandra saja. "Kenapa kalo mau nyari masalah nggak main aman?"

"Rion ... " Suara Sandra bergetar. Mengucap nama Rion saja rasanya sudah seperti ada yang menyengat pada ulu hatinya. "Rion malam itu mau ke rumah, Bar. Dia mau ngelamar aku. Kita udah planning mau nikah. Ta--tapi dia malah pergi gitu aja."

Love in Demo [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang