[21] We Are Friends, Right?

807 150 6
                                    

Terbaring lagi di atas kasur. Kali ini Jae Hyuk ditempatkan di kamar perawatan asrama. Bibi Kim menggendongnya sendiri, dan menemaninya sambil menunggu ia tersadar. Martin sedari tadi mengendap-endap mengikuti Jae Hyuk yang bertingkah aneh dan dikejutkan oleh kedatangan Bibi Kim yang mendadak. Mengintip keadaan mereka berdua di dalam kamar perawatan yang dipenuhi kasur kosong berdebu, Martin datang masuk.

“Jae Hyuk kenapa, Bi?” tanyanya.

Bibi Kim terkejut dari lamunannya. “Entah, dia tiba-tiba jatuh panik ketakutan,” jawabnya cemas sambil memainkan jemarinya.

“Dia sakit lagi?”

Bibi Kim menggeleng. “Sepertinya tidak, tapi badannya berkeringat sekali.”

Martin mengangguk tak bergeming, hanya memandangi kedua manusia di depannya.

“Bibir Bibi kenapa?” tanya Martin menunjuk sudut bibirnya sendiri.

Wanita itu bingung, gelagapan menyeka sudut bibirnya. “Ehm, memangnya ada apa, Martin?”

“Ah, lupakan, sudah hilang,” tutur lelaki itu. “Bi, biar Martin yang menemani dia, Bibi pergi tidur saja,” sambungnya.

“Tidak apa-apa, Martin, lebih baik kamu yang tidur, Bibi yang di sini.”

“Kenapa?”

“Kenapa? Ya, Bibi ingin menjaga Jae Hyuk.”

“Sudah, biar Martin, Bibi pergi saja. Ada yang mau Martin bicarakan dengannya jika sudah sadar nanti,” jelasnya tegas.

“Ah … baiklah,” jawab Bibi Kim tersenyum simpul, berdiri, lalu pergi keluar kamar. Sesekali menoleh ke belakangnya, ia menyeka sudut bibirnya kembali dan meninggalkan kedua lelaki itu.

Martin duduk tegang di kursi mengamati kawannya yang lagi-lagi tak sadarkan diri. Urat-urat panjang terlihat lebih menonjol di sekujur lengan Jae Hyuk, warnanya bahkan lebih pucat dari biasanya. Martin melemas, mengutuk diri sendiri, sementara kepalan tangannya memukul dahinya berulang.

Tak lama, jemari Jae Hyuk perlahan bergerak, menandakan kesadarannya.

“Jae Hyuk-ah?” panggil Martin terkejut.
Kelopak mata lelaki itu lambat laun terbuka, terlihat begitu menyedihkan, matanya sungguh terlihat sayu dan lelah.
Pergerakan tangan Jae Hyuk perlahan menyapa perutnya sendiri, semakin lama usapan itu semakin cepat, dan membuat Jae Hyuk tersentak, lalu terbangun dari rebahnya.

“Perutku!”

“Ada apa, Jae?” Martin panik.

Jae Hyuk kemudian membuka kaus yang dikenakannya untuk memeriksa luka tusuk yang ia terima. Namun, bersih, tak ada luka apa pun tergambar di sana. Lelaki itu menelan saliva, lalu menghela napas begitu dalam.

“Apa yang terjadi?”

“Kamu bersikap aneh dari tadi di depan dapur. Aku tidak tahu kamu kenapa, kamu lihat sesuatu?”

Jae Hyuk menegang, gugup, tak berkata-kata.

“Kamu sedang apa di sini?” sinis Jae Hyuk.

“Menunggumu sadar, aku ingin jujur,” ucapnya tenang.

Sedangkan Jae Hyuk meremang memandang benci kawannya. “Tidak perlu, aku ingin kembali ke kamar.”

Jae Hyuk dengan cepat turun dari kasurnya, jalannya sesekali sempoyongan dan penglihatannya berkunang-kunang. Kepalanya serasa ditimpuk beban berat, ia pun bertopang pada tembok di sampingnya.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang