[27] In Action

289 42 0
                                    

Perlahan membuka pintu besar di perpustakaan. Sepelan mungkin Martin mendorong pintu agar terbuka tanpa satu pun suara. Jae No memperhatikannya gelisah, kaki-kakinya tak mau berhenti bergerak. Lega kala pintu besar itu akhirnya sedikit terbuka, cukup untuk kedua tubuh ramping itu memasukinya. Martin masuk lalu menyalakan senter di ponselnya, memindai ruangan gelap penuh rak buku menjulang. Sementara Jae No berusaha menutup pintu itu kembali.

Terdapat 5 rak besi besar yang berbaris di ruangan ini. Mereka memeriksanya kembali, memastikan bahwa tak ada siapa pun di sana.

“Gue kesana, lo kesana,” sahut Martin berbisik menunjuk baris rak buku pertama dan kedua. Baris pertama yang Martin datangi adalah tempat dimana ia melihat sendiri Bibi Kim menyimpan buku berbalut kain putih kala itu. Ia sungguh berharap buku itu ada di sini sekarang.

Martin mengalihkan satu persatu buku yang tertata rapi itu sambil membaca judul-judul di bagian sisi bukunya. Dengan imajinasinya sendiri, ia membayangkan ciri-ciri buku itu dari ucapan Jae No dan dugaan Jae Hyuk kemarin. Warna hitam usang, seperti buku lama, bahasa asing, juga tulisan yang aneh.

Mencari terus mencari, satu rak tinggi telah Martin kuasai. Depan belakang sudah ia cek semuanya. Begitupun Jae No, ia sudah bolak-balik dari rak atas hingga bawah menggunakan tangga, tapi tak juga menemukan satu buku yang ia cari, tak ada buku yang cocok sesuai yang dilihatnya kemarin. Ia pun menuruni tangga, menemui Martin.

“Martin! Ketemu?” tanyanya tersengal-sengal.

“Enggak,” keluhnya kesal.

Keduanya lelah berkeringat, Jae No sesekali mengusap peluhnya. Sedangkan Martin membuka ponselnya.

MARTIN

Bibi udah dateng ke toilet?

Nggak ada siapa-siapa kan di luar perpus?

JEAN

Aman, Kak.

Iya, Bibi lagi di toilet lagi bersihin lukanya Kak Hae Jin.

Bukunya ketemu, Kak?

Martin menyimpan lagi ponselnya sebelum ia membaca pesan terakhir Jean. Ia langsung berlari ke rak-rak kecil lainnya untuk kembali mencari buku terkutuk itu. Matanya sesekali menyipit tak berkedip, sama dengan Jae No yang terus berlari dari rak satu ke rak yang lainnya.

“Pa, please muncul, bantu Martin,” batinnya gelisah.

Di malam yang dingin mencekam itu mereka malah bercucuran keringat karena ketegangan. Suasana begitu senyap, hanya terdengar suara jangkrik, dan burung hantu yang entah dimana keberadaannya, serta suara lembaran-lembaran buku yang terbuka, juga suara deru napas mereka.

Namun, kala Martin yang tengah sibuk di depan rak kecil dekat pintu masuk, inderanya menangkap satu suara yang menggema dalam keheningan. Suara tapak kaki yang melangkah cepat, Martin sontak gelagapan entah harus bagaimana, bahkan ia lupa untuk mengunci pintu perpustakaannya. Ia lantas berjalan cepat berniat menghampiri Jae No yang berada di balik rak besar.

Krieet


Terlambat. Decitan pintu berhasil membuat Martin menegang di tengah jalan. Ia mematung kaku sebelum berhasil bersembunyi. Punggungnya yang lebar itu diam sama sekali tak bergerak, ia betul-betul tak bisa mengontrol ketegangannya.

“Martin?” tanya seseorang itu.

Jae No di balik sana mendengarnya ikut menegang, sontak menutup buku yang ia genggam. Ia panik mendengar suara Ibu dari kejauhan, dan mencoba mengintip dari sana.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang