“Aku yang cerita ya, Jean?”
“Ya, silakan.”
Ehm … sama seperti Kak Hae Jin. Kami juga anak yang terbuang. Namun, sialnya kami tak pernah merasakan kehangatan keluarga. Sejak kecil kami sudah tumbuh di panti asuhan. Kami sama sekali tak mengenal orang tua kami, bagaimana bentuk wajahnya, suaranya, bahkan senyumnya. Kami juga tak tahu menahu mengapa kami tumbuh di sini? Apa mereka membuang kami? Apa mereka meninggal? Salah kami apa? Aku heran dengan orang tua yang begitu mudahnya membuang anak mereka.Apa mereka pikir bayi tak bisa merasakan apa pun? Huh ... entahlah.
Dan––eum, dahulu kami sangat sering berkelahi. Hanya karena sebotol susu yang airnya tak sama banyaknya, aku sering kali cemburu pada Jean yang selalu diberi susu lebih banyak. Kami juga berkelahi hanya karena kami selalu diberi pakaian dengan warna dan corak yang sama. Padahal kami ingin berbeda dari satu sama lain. Kami bosan.Hingga suatu saat itu, ibu dan nenek di panti asuhan lama kami tiba-tiba memberi kejutan dengan memberi kamar baru yang luas dengan konsep koboi. Anehnya kamar baru itu hanya untuk kami berdua. Dan saat itu kami kebingungan, sampai Nenek mengajak kami duduk di dalam sebuah tenda segitiga kecil seperti rumah Indian di dalam kamar itu.
Dia bertanya, “Kalian tidak senang?”
Kami hanya melongo.“Begini, pakaian kalian, botol susu kalian, mangkuk, serta kamar ini, apa kalian tahu mengapa Ibu dan Nenek memberikannya secara khusus untuk kalian?”
“Karena kami anak baik,” jawab Jean saat itu. Nenek tersenyum geli.
“Ya, kalian memang anak baik, tapi bukan itu. Yang benar karena kalian sebenarnya adalah anak kembar, Nak.”
Kami lagi-lagi melongo, menatap satu sama lain.
“Kembar itu apa?” kami bertanya serempak, lalu ia menjelaskan.
Saat itu kami sedikit tak percaya dan mulai bertanya pada siapa pun yang kami temui seperti, “Apakah kami mirip? Apakah kami mirip?” Ya, kurang lebih seperti itu. Hingga tak lama kami memahaminya bahwa sebenarnya kami adalah anak kembar, tapi tak identik. Wajah kami tak mirip. Maka dari itu, semua teman kami, bahkan kita sendiri tidak memercayainya.
Sejak saat itu, akhirnya kami bisa menerima jika pakaian baru kami lagi-lagi serupa. Teman yang lain pun jadi sering bertanya dan mendekati kami karena fakta yang terbongkar tadi, kami seperti ... pusat perhatian saat itu.
Namun, keingintahuan kami tak hanya berhenti di situ. Kami terus bertanya kenapa kami bisa terlahir kembar? Bagaimana kami lahir? Hingga dengan siapa kami dilahirkan? Jawaban Nenek dan Ibu, juga kakak-kakak lain di asrama membuat kami berpikir, dan merasa iri saat melihat sendiri anak-anak dengan seragam yang unik keluar dari sekolah mereka dengan berlari untuk menghampiri dan memeluk orang tua mereka.Kenapa kami tak punya sosok laki-laki dan perempuan dewasa yang menjemput kami dengan mobil juga? Pikir kami saat itu, karena kami juga ingin. Kami juga butuh cinta dari sosok orang tua. Walaupun kami sudah mempunyai nenek dan ibu, tapi rasanya pasti berbeda.
Rasa iri kami pun bergejolak saat melihat satu per satu teman kami yang akhirnya diadopsi. Kami sempat menangis dan bertanya, apa ada yang salah dari kami? Kenapa tak ada pengadopsi yang tertarik pada kami? Ya, begitulah. Sampai suatu hari, masalah terjadi. Satu orang pekerja, panggil saja Bibi Soo Yeong. Ia berlari memasuki kelas musik dengan panik berteriak pada kami yang sedang bermain biola.“I-ibu dan Nenek menghilang! Jendela kamarnya terbuka lebar … kamarnya ditemukan penuh darah!”
Kami semua tentu ikut panik. Ada yang menangis, ada yang mematung, ada yang penasaran. Kami termasuk pada orang yang mematung kaku. Benar, dua hari kami memang tak melihat Nenek dan Ibu di asrama sejak kami berbincang memburu tanya. Kami berdua benar-benar lemas mengetahui mereka sungguh tak bisa ditemukan. Berhari-hari polisi membantu, tapi tak ada satu pun jejak yang membekas. Kami semua akhirnya pasrah, dan berdoa untuk keselematan mereka.
Hingga akhirnya keajaiban datang. Ibu Martha datang pada kami dan berbincang serius dengan kakak tertua kami, serta pemilik panti asuhan itu. Ia bilang, ia ingin membeli panti asuhan tersebut, tetapi semua anak akan dipindahkan ke asrama yang Kak Hae Jin sebut sebagai istana, karena pekerja di sana jumlahnya lebih banyak, dan bangunan yang saat itu kami tinggali akan diubah sebagai sekolah untuk anak-nak. Dan, pada akhirnya kami semua pun setuju.
Di sinilah kami sekarang. Pada awalnya aku pun takjub dengan panti asuhan yang megah ini. Benar kata kak Hae Jin, seperti istana zaman kuno. Dan pada saat itu, aku dan Jean bertemu dengan Kak Hae Jin juga Kak Ra Joon. Mereka yang datang pada kami lebih dulu dan mengajak bermain bersama.
Mereka sungguh baik, sungguh, begitupun Ibu Martha, mereka selalu menjaga kami hingga kami lupa dengan mimpi kami bertemu orang tua. Bahkan kami sempat melupakan Ibu dan Nenek saat itu, walaupun kadang kali aku memikirkan keadaan mereka yang tak bisa ditemukan hingga sekarang.
Apa mereka baik-baik saja? Aku harap iya. Kabarnya benar-benar tak diketahui sedikit pun. Sedikit janggal. Namun, aku harap mereka baik-baik saja. Karena aku yakin, orang baik akan dilindungi oleh Tuhan.Terlalu nyaman hidup di sini bersama kakak-kakak yang aku sayangi, aku sampai berpikir mungkin aku tak butuh lagi sosok orang tua. Aku sudah menganggap kak Ra Joon sebagai ibu dan Kak Hae Jin sebagai ayah. Haha ... tidak, tidak, bercanda.
“Kamu bilang sekali lagi, bantal dinomu akan kubuang?”
“Iya, ampun, Kak. Jangan!”
Ya, untuk kali ini mungkin aku tidak membutuhkannya. Akan sangat pedih rasanya jika salah satu dari kami diadopsi. Ah, aku tidak bisa membayangkannya. Maka dari itu, jaga kami terus. Tetaplah seperti ini, bertujuh. Kita harus tumbuh bersama. Janji, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doors: Survive | TERBIT ✓
Mystery / ThrillerEND COMPLETE, BUT PLANNED TO REVISE - 𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬 : 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐢 𝐀𝐬𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐠𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐁𝐮𝐬𝐚𝐧, 𝐬𝐞𝐧𝐠𝐚𝐣𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐦𝐩𝐮𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐩...