“Kalau begitu, biarkan aku mati di tangan ibumu, Martin. Atau di tangan iblis itu. Berikan tubuhku untuk mereka … aku sudah pasrah.”
Kepala-kepala yang tengah menunduk lemas itu mendadak tersentak menatap Jae Hyuk lamat-lamat. Mereka semua spontan memicingkan mata padanya.
“Apa yang kamu pikirkan?!” pekik Hae Jin.
“Kak, please, jangan seperti ini …” mohon Jean.
Jae Hyuk di sana terus menunduk mendengar komentar dan permohonan yang masuk ke telinganya, membuat lelaki itu kini makin mendidih.
“Kalian semua mau selamat, ‘kan?”
Semuanya mematung terdiam.
“Aku biangnya di sini. Karenaku kalian semua ikut celaka! Tangan ini yang sudah buka pintu ruang bawah tanah itu. Aku yang membuat iblis itu berkeliaran lagi. Kalian dengar ucapan Martin tadi? Aku yang harusnya mati dari awal!”“Jae Hyuk-ah! Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkanmu, aku cuma beri tahu semuanya sesuai yang Papa bilang,” bantah Martin, jantungnya berdetak cepat.
“Secara tidak langsung kamu memang menyudutkanku dari awal!” pekik Jae Hyuk melawan.
“Jae Hyuk, Martin, sudah cukup!” timpal Ra Joon. “Jangan bertengkar lagi, tolong. Kalian sudah saling minta maaf. Tolong, sudah cukup,” ujarnya geram. Mereka berdua lantas terdiam menundukkan kepalanya lagi saling enggan bertatap.
“Jae Hyuk, maaf, tapi kamu kali ini sudah melewati batas. Berhenti bersikap kasar dan gegabah, aku yakin ada solusi paling aman daripada ucapanmu tadi,” ucap Ra Joon membuat Jae Hyuk menyalangkan mata padanya. Namun, Ra Joon tetap tenang.
“Aku mengerti perasaan kamu. Tapi kamu salah, Jae. Bukan begitu cara menyelesaikan masalah ini. Dengan kamu bersedia menyerahkan ragamu cuma-cuma untuk iblis itu, mereka perlahan akan menganggap kita anak bodoh, dan merenggut nyawa kita satu per satu. Mereka tidak akan pernah puas, Jae, tidak akan,” tegur Ra Joon, lagi-lagi dibalas keheningan oleh mereka.
“Dia … benar, Jae,” ucap Jae No gugup.
“Hm, aku setuju. Kamu tahu kita semua diteror. Bukan cuma kamu, mereka ingin kita, bukan cuma kamu. Kalau kamu mati, kita juga harus mati. Tapi kalau kita melakukan cara itu, sama saja kita bunuh diri, mereka tidak akan merasa puas dan akan terus mencari korban baru. Aku tidak mau, aku ingin mereka musnah dan tidak ada lagi anak yang direnggut nyawanya,” kelakar Hae Jin.
Semua perlahan mengangguk menyetujui kedua lelaki itu. Sementara Jae Hyuk makin kacau memejamkan mata erat sembari memukul-mukul dadanya yang sesak.
“Sudah, tenang, Kak. Kak Jae Hyuk akhir-akhir ini sedang tidak sehat badannya. Ayo tarik napas,” ujar Jean mengelus punggungnya lembut.
“Tenang, kita semua akan selamat. Tidak akan ada yang mat—”
Belum selesai Jae No bicara, ia mendadak mematung, pupil matanya bergerak ke sana kemari. Yang lain ikut menegang.
“Kenapa?” tanya Hae Jin setengah berbisik.
“Ada seseorang di luar,” ucapnya singkat, lalu segera berdiri dan berlari membuka pintu kamarnya.
“Bibi?” tanya Jae No memicingkan mata.
Suara dentuman kecil baru saja menubruk pintu kamar mereka, yang membuat Jae No sadar bahwa ada seseorang di luar sana. Bibi Kim, yang tengah kerepotan membawa banyak barang di pelukan tangannya. Satu barang berbalut kain putih itu lagi-lagi muncul di hadapan Jae No. Ia lantas membungkuk mengambil benda itu, sekilas ia mengintip ke dalamnya dan memberikannya pada Bibi Kim.
“Maaf ya, Nak, sudah merepotkan,” ujarnya.
“Hm, tidak apa-apa, Bi,” jawab Jae No singkat.
Setelah itu, Bibi Kim berterima kasih pada mereka, setengah membungkuk, lalu pergi meninggalkan kamar itu. Martin yang berdiri tepat di belakang Jae No mulai berpikir, Bibi tidak menguping, ‘kan? batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Doors: Survive | TERBIT ✓
Mystery / ThrillerEND COMPLETE, BUT PLANNED TO REVISE - 𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬 : 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐢 𝐀𝐬𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐦𝐞𝐠𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐁𝐮𝐬𝐚𝐧, 𝐬𝐞𝐧𝐠𝐚𝐣𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐮𝐦𝐩𝐮𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐩...