[7] Trauma - Ra Joon

947 172 14
                                    

Trauma ....

Aku akan memperingati kalian lebih dulu, bahwa tak semua orang tua bersedia untuk memberikan kehangatannya. Dibanding memberikan kehangatan, orang tuaku justru memberikan neraka penuh darah untukku. Pedihnya masa lalu membuatku terkadang ingin menjerit kencang dan memukul apa pun yang kulihat. Untuk mendengar suaranya bahkan aku tak ingin, kututup rapat-rapat telingaku jika aku mendengar suara mereka. Untuk melihat wujudnya saja aku muak. Jujur, aku sangat ingin mereka musnah.

Ra Joon, kamu baik-baik saja? Tanganmu gemetar.”

“Hmm … traumaku sepertinya kembali.”

“Kalau tidak kuat, sudahlah.”

“Tidak, tidak, aku ingin cerita, Martin.”

Jadi, di saat orang lain bahagia mendengar cerita dari mulut ayah atau ibunya, senang bersenda gurau dengan mereka, dan memeluk mereka satu per satu tanpa canggung, aku enggan. Untuk menyentuh mereka pun aku tak sudi. Tangan dan tubuh ini ibarat membeku jika berdekatan dengan mereka. Sangat-sangat tak mau bergerak.

Darahku mendidih, sakit hati, dan jijik menjadi satu, tapi aku hanya bisa memendamnya. Mungkin aku sudah berdosa, tapi jujur, aku benar-benar tak mau bersentuhan dengan mereka. Jika iya, kepala dan hatiku serasa mau pecah.

Saat kecil, aku tak pernah merasa bahagia. Untuk tersenyum pun mungkin masih bisa dihitung jari. Awal mula keluargaku ini bisa kacau karena … Ibu pergi meninggalkan kami. Ia selingkuh dengan teman sekantornya. Aku mengetahui itu lebih dulu, sedangkan Ayah belum. Aku sering melihatnya ia membawa lelaki lain ke rumah saat tengah malam jika Ayah ada pekerjaan ke luar kota. Mataku melihat dengan jelas saat mereka berciuman, hingga … aku tak berani mengatakannya.

“Argh! Bagaimana cara aku melupakan ini?”

“Berhenti memukuli kepalamu, Ra Joon!”

“Maaf.”

Dan, saat Ayah memergoki mereka berdua berada di meja dapur sedang bercumbu dan bermesraan bersama, pertengkaran hebat dimulai. Semua makin kacau, rumit. Aku yang sangat ketakutan saat itu, cepat-cepat bersembunyi di dalam lemari kamarku. Namun, suara pukulan di bawah sana, suara pecahan beling, adu mulut, kata-kata kasar, masih menggema di telingaku, bahkan aku masih bisa mendengarnya hingga kini.

Sebelum kekacauan itu terjadi pun, orang tuaku memang sama-sama sibuk dengan pekerjaannya. Mereka jarang pulang. Sedangkan aku diasuh oleh Bibi yang orang tuaku pekerjakan. Namanya orang lain, pasti memiliki kesibukannya sendiri, bukan?

Terkadang sehari atau malah seminggu penuh, Bibi pulang ke rumahnya untuk menjaga anak-anaknya pula. Kukira Ayah dan Ibu pun akan datang menggantikan Bibi untuk menjagaku, nyatanya tidak. Mereka tidak pulang, bahkan lebih dari seminggu meninggalkanku sendirian di rumah. Mungkin, untuk mengingatku saja tidak. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya.

Sampai pada saat kekacauan itu terjadi. Ayah pun jadi sering membawa wanita lain ke rumah untuk bersenang-senang bila Ibu sedang tidak ada. Bau alkohol mengeruak ke mana-mana, suara-suara asing terdengar begitu jelas, bahkan tanganku ini saja tak cukup untuk menghalangi suara itu masuk ke dalam telinga.

Aku ingin menjerit, tetapi aku menahannya dengan menggigit bibirku sendiri sampai rasa anyir mengecap di lidah. Dan di saat sulitku itu, Ayah menengokku di kamar saja tidak, bertanya bagaimana dengan hari ini, atau memberiku senampan sarapan, bahkan pelukan atau ciuman saja mereka sepertinya tak sudi.

The Doors: Survive | TERBIT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang